27 Januari 2009

UPAYA MENYAMAKAN PERSEPSI PERAN DAN FUNGSI PNS DALAM MELAYANI PUBLIK.

UPAYA MENYAMAKAN PERSEPSI PERAN DAN FUNGSI PNS DALAM MELAYANI PUBLIK.
(Tanggapan atas tulisan saudara Akhiril Fajri, Humas DPD I Hizbul Tahrir Indonesia Lampung)

Oleh Zainul Karoman, zk_220995@yahoo.co.id
Widyaiswara dan Pemerhati Pengembangan SD Aparatur dan Pelayanan Publik


Tulisan saudara Akhiril Fajri, Radar, 18 Desember 2008 tentang Menata Kembali Peran PNS, sangat menarik untuk di respons dan didiskusikan lebih lanjut, karena berkaitan dengan peran dan fungsi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Apalagi pada situasi sekarang ini, PNS dimanapun berada sedang mendapat sorotan tajam dari publik, baik dalam hal rekruitment CPNS, maupun dalam hal pelayanan publik. Sebagaimana diketahui adanya kisruh CPNS yang menimpa GF,di kabupaten Way Kanan dan ditempat lain. Dalam soal pelayanan publik, PNS masih terkesan kurang ramah dan lamban.
Kembali kepada topik, saudara Akhiril Fajri belum menjelaskan tentang sosok dan karier seorang PNS, apa itu PNS, dan bagaimana kedudukan,peran dan fungsi sebaai Aparatur Negara ? Dalam tulisan itu dipaparkan ada 5 (lima) tipe PNS, yaitu tipe Birokrat, tipe Supporter, tipe Oemar Bakri, tipe profesional dan tipe Intelektual.
Apa alasan Akhiril Fajri mengatakan PNS sebagai Ajir (Pekerja) dan majikannya adalah Negara. Lantas, PNS dikontrak sampai pensiun, dan tidak memandang apakah negara masih membutuhkan atau tidak ? dan kemudian PNS itu dapat menjadi beban negara . Bagaimana cara pandang saudara Akhiril Fajri, kok bisa demikian ? Hal ini cukup menarik untuk diekplore dan menjadi pikiran saya untuk memberi tanggapan.
Saya sependapat tentang tipe PNS yang dikatakan Penulis terdahulu. Namun tidak semua PNS memiliki perilaku demikian, karena PNS itu terdiri dari 2 jabatan karier, yakni Struktural dan Fungsional seperti dijelaskan dalam Undang-Undang. Karier Struktural umumnya terdiri dari para Birokrat Pemerintah yang didasarkan Eselonering,memiliki fasilitas negara, staf dan tunjangan jabatan . Sedangkan Karir Fungsional umumnya terdiri dari PNS,yang bekerja berdasar atas profesi atau keahlian. Keduanya saling melengkapi dan sinergis dalam mencapai kinerja organisasi pemerintah.
Selanjutnya Jabatan Fungsional bagi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 16 tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional PNS dan PP 87 tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS. Pejabat fungsional seperti Guru, Dosen, Widyaiswara, Penyuluh Pertanian, dokter, Perencana Pembangunan, Auditor, Pengamat Hama, Kalau PNS yang duduk dalam jabatan fungsional, memiliki metode kerja agak berbeda dengan pejabat Struktural. Pejabat Fungsional menjalankan fungsinya dan bertanggung jawab atas profesi yang diemban, tidak memiliki staf, fasilitas, kenaikan pangkat didasarkan pada penilaian pencapaian angka kredit dan tunjangan jabatan. Sedangkan struktural tidaklah demikian, melainkan didasarkan pada eselonering. Tunjangan jabatan antara Struktural dan fungsional juga berbeda. Meski demikian, Penulis akan memulai bahasan dari apa itu PNS, kedudukan, peran dan fungsi , kemudian dilanjutkan dengan persepi tentang Peran dan fungsi PNS?

Apa itu PNS ?
Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat –syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau tugas lainnya yang ditetapkan berdasar peraturan perundangan serta digaji oleh negara. Pegawai Negeri terdiri dari 3 kategori yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri. Pegawai Negeri berkedudukan sebagai Unsur Aparatur Negara sebagai abdi masyarakat. Berperan sebagai Pelayan (Server) publik, dengan tugas pokok melayani publik. Sedangkan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Aparatur Pemerintah dituntut harus mampu (1)melayani publik (2)mengayomi publik (3)Menumbuhkembangkan prakarsa & peranserta publik dalm pembangunan
Tugas pokok PNS seperti disinggung diatas,yaitu melayani publik, hal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, butir 14 dari kewajiban PNS adalah memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dengan demikian sudah jelas bahwa aturan dan kedudukan Pegawai Negeri Sipil dimata publik. Namun demikian muncul pertanyaan-- bagaimana dengan sanksi yang diberikan terhadap PNS yang melanggar? Persepsi terhadap hal ini masih ragam pendapat.

Penataan PNS dalam pemerintahan
Kalau kita ingin menata kembali PNS, mestinya dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif. Misalnya dari sistem rekruitment pegawai, didasarkan kepada kebutuhan dan kompetensi, kemudian gaji yang diberikan, idealnya dihitung lebih dahulu tentang Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang PNS. Bukankah, Undang Undang 43 tahun 1999 telah menyatakan secara tegas bahwa Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab. Secara faktual, kondisi ini belum diterapkan secara menyeluruh. Kenyataannya, rajin dan malas gaji yang diterima masih tetap sama. Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas kerja dan menjamin kesejahteraan. Disisi lain, ketika bicara soal gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat, maka PNS gak ada apa-apanya. Sdr. Akhiril Fajri tidak menjelaskan, gimana pola dan metode menata kembali peran PNS? Oleh karena itu, dalam hal ini,diperlukan manejemen Kepegawaian PNS dan sampai saat ini belum ada Komisi Kepegawaian Negara (KPN). Komisi ini bertugas untuk memberi masukan dan perumusan kebijakan kepada Presiden soal kepegawaian republik indonesia. Kita semua tahu, di Indonesia sudah ada Komisi Perlindungan anak, Komisi Penyiaran, Komisi Hak Azasi Manusia, Komisi Yudicial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi,Komisi Tindak Pidana Korupsi dan lain lain. Tetapi Komisi Kepegawaian Negara (KPN), belum ada ? ini suatu kepincangan yang terjadi di Indonesia. Penulis memiliki harapan, apabila KPN dibentuk, maka pelan-pelan namun pasti,citra positif PNS dimata publik akan semakin lebih baik. Sedang citra negatif, secara alamiah akan mulai berkurang.
Kalau memang semua elemen sudah siap mental, maka bisa saja PNS itu dikontrak oleh negara, artinya ketika dinilai seorang PNS tidak mampu lagi bekerja dan produktif dan akan menjadi beban negara, maka segera dilakukan pemutusan hubungan kerja. Namun demikian, harus ada solusi terbaik dan apakah PNS sudah siap untuk itu. Disinilah, diperlukan riset yang mendalam.
PNS juga diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Jiwa Korps PNS adalah rasa kesatuan, dedikasi, disiplin, kreativitas, kebanggaan dan rasa memiliki organisasi PNS dalam rangka NKRI. Kode etik PNS adalah pedoman singkat, tingkah laku dan perbuatan PNS dalam melaksanakan tugas dan pergaulan hidup sehari-hari. Pembinaan jiwa korps PNS bertujuan untuk membina karakter, mewujudkan kerjasama dan semangat pengabdian kepada masyarakat. Mendorong etos kerja PNS untuk mewujdukan PNS yang memiliki wawasan kebangsaan.
Solusi yang dapat disampaikan Penulis dalam menata dan fungsi PNS sebagai berikut (1) Perbaiki sistem rekuitment calon pegawai Negeri sipil. Dari sisi output, ketika kita ingin mendapatkan sosok PNS yang handal, kompeten dan akuntabel, maka harus dimulai dari input yang baik dan sesuai dengan sistem produr yang jelas, untuk kemudian diproses, dilakukan bimbingan sesuai dengan formasi dan kompetensi yang ada (2) Perlu pembinaan karir PNS secara terus menerus, harus jelas kemana arahnya, apakah yang bersangkutan di jenjang struktural atau fungsional atau dlakukan zigzag (3) Demi untuk pengkaderan PNS, maka tidak dilakukan lagi perpanjangan usia pensiun, ikuti saja aturan yang telah ada (4) Cepat atau lambat perlu diupayakan berdirinya Komisi Kepegawaian Negara. Mudah-mudahan kalau hal ini dapat dilakukan dengan baik dan serius. Insja Allah kita akan memperoleh sosok ideal PNS yang baik dan amanah. Terima kasih.

16 Januari 2009

Pendidikan Gratis

PENDIDIKAN GRATIS


Pangkalpinang, 16 Januari 2008
Dunia Pendidikan rupanya sudah dijadikan komoditi yang sangat menarik bagi aktor-aktor politik di Negeri ini. Seringkali kita jumpai beragam janji-janji calon wakil kita di legislatif baik ditingkat daerah maupun pusat, atau calon pemimpin daerah dan negeri ini tentang niatnya untuk memajukan dunia pendidikan. Tak jarang pula mereka ini menjanjikan kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan yang gratis kepada seluruh komponen masyarakat. Namun apa yang terjadi kemudian ??????. Yang terjadi adalah kebingungan di masyarakat dan aktor-aktor pelaksana dan pengelola pendidikan.

Yang menjadi pertanyaan penting bagi kita semua yaitu "Mengapa hal ini bisa terjadi??????". Pertanyaan berikutnya yaitu "Bagaimanakah sebaiknya konsep pendidikan gratis yang harus kita terapkan di negeri ini dan Apa konsekuensinya bagi Pemerintah dan Masyarakat dan terhadap kemajuan pendidikan?????".

Untuk mengetahui lebih lanjut konsidi pendidikan gratis diatas, nantikan Opini saya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dalam artikel pendidikan yang Insya Allah akan saya muat di akhir bulan ini.

08 Januari 2009

Mewujudkan Sekolah Yang Mandiri dan Otonom

Mewujudkan Sekolah yang Mandiri dan Otonom
Dalam Pemenuhan Standar Nasional Pendidikan**)

Oleh : Indrawadi, S.Si, MAP *)



Latar Belakang

Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian?, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan.

Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tak pernah terhenti dari keterpurukan.

Kekuasaan birokrasi juga-lah yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.

Namun, keluarnya Inpres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan di tanah air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak itu, secara perlahan “rasa memiliki” dari masyarakat terhadap sekolah menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggungjawab”, mulai berubah menjadi hanya “berpartisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya, masyarakat bahkan menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumberdaya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan seolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggungjawab terhadap penyelengaraan pendidikan di sekolah.



MBS: Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan

Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang berahlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mepersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas ke depan.

Manajemen berbasis sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.

Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan.

Di sisi lain, hanya guru-guru-lah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metoda mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulumnya dapat dilaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru bersama kepala sekolah dapat bekerjasama untuk memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu kepala sekolah dan guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian serta analisis agar semakin peka terhadap dan memahami dengan cepat cara-cara pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing.

Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumberdaya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan sumberdaya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitasi secara obyektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang handal dan terbakukan secara nasional.



Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah-Sekolah

Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.

Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.

Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.

Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.

Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pikiran masyarakat harus kita akhiri, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.

Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan “capacity building”. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan ‘capacity building’ tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas (straight foreward) dan terukur (measurable).

Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan (up-grade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tahap Pra-formal; satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dsb.) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu Tahap Formalitas.

Tahap Formalitas; satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini, capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti kepala sekolah) dan pelaksana npendidikan (seperti guru-guru, instruktur, tutor, dsb.) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangannya berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran output pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.

Tahap Transisional; satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom (Meaning).

Tahap Otonomi; satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan di atas SPM sekolah (Yaitu satndar Kompetensi Minimum) dan akan bertanggungjawa terhadap klien serta stakeholder pendidikan lainnya.

Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi capacity building dilakukan umumnya melalui upaya memperlengkapi satuan-satuan pendidikan dengan sarana-prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap perkembangan berikutnya.
  2. Terhadap kelompok satuan pendidikan yang sudah mencapai Standar teknis (Tahap Formalitas), strategi capacity building dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dan penegmebangan kemampuan tenaga kependidikan, seperti kepala sekolah agar mampu mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal dengan tanpa banyak pemborosan. Bagi tenaga pengajar dikembangkan kemampuan mereka untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif dan inovatif, serta dapat melakukan penelitian terhadap pendekatan pembelajaran yang paling efektif. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai kemampuan ini, mereka dapat ditingkatkan ke tahapperkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional.
  3. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Dewan Pendidikan dan komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan, maka satuan-satuan pendidikan sudah dapat dinaikan kelasnya ke Tahap Otonomi.
  4. Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar minimal pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/ kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional.

Pengelolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah

Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.

Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan oleh sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sudah barang tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin dengan orangtua dan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya, sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah, serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).


Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.

Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang diperlukkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan oleh sekolah.

Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasio-nal sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlu-kan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.

Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.

Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.

Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi pendidikan, proses pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum nasional. Dalam era otonomi daerah, kurikulum nasional sedang dalam proses penyempurnaan menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dengan KBK ini, diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.

Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.


Pemberdayaan Komite Sekolah Dewan dan Pendidikan

Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai failitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah

Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.

Pertama, Penyusunan Rencana dan Program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan mingguan, bulanan, semesteran serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintahan kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi “pendamping” bahkan “penyeimbang” bagi sekolah-sekolah, sehingga setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite sekolah dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah.

Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, propinsi dan kabupaten.kota, sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan “life skills”, Komite Sekolah dapat membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan “life skills” yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya.

Kedua, Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengn pos-pos pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh Komite Sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan.

Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS yang harus disyahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan Komite Sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah, sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah, sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien.

Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; sistem pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu sekolah-sekolah adalah bagian dari sistem birokrasi yang haru tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits for all) atau dilakukan secara baku dengan pangaturan dari pusat, sejak perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan, sampai kepada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan mereka sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metoda mengajar dan teknik evaluasi juga diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dari pusat.

Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melalui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendikdikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumberdaya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Oleh karena karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual, maka pendekatan pembelajaran juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.

Dalam keadaan seperti itu, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumberdaya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak munghkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite Sekolah bisa ikut serta untuk meneliti dan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan Pendidikan pada setiap Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk menerapkan suatu kebijakan yang tepat dan kena sasaran. Dewan Pendidikan juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapaan suatu kebijakan baru.

Keempat, akuntabilitas pendidikan, dalam masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menempatkan “kaki tangan”nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa, pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah-sekolah menganai proses pendidikan yang berkangsung di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan adminisgtratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dsan sejenisnya. Namun, penilalaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sanksi (punishment) atau “ganjaran” (rewards) kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran murid atau lulusan.

Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan Pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dewan Pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan. Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah. Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah tidak perlu melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan, tetapi cukup dengan menggunakan data-data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian, diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu Peraturan Daerah di bidang pendidikan.


Penutup

Keberhasilan dalam pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah sebuah keniscayaan yang perlu dilakukan secara teliti, cermat dan terus-menerus. Namun perlu diwaspadai, pemberdayaan DP dan KS tersebut tidak mengarah pada perwujudan birokrasi baru. Yang diharapkan justru sebaliknya, kehadiran DP dan KS adalah untuk mengurangi bahkan mengikis berbagai dampak negatif dari birokratisasi yang sangat menggejala di masa-masa lalu. Sesuai dengan undang-undang yang berlakau, pendidikan bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi juga adalah menjadi tanggung-jawab keluarga dan masyarakat. DP dan KS pada intinya adalah wakil masyarakat dan keluarga yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki terhadap sistem pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah yang ada di lingkungannya masing-masing.

*) Staf Subdin Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung


**) Dikutip dari Makalah Oleh Dr. Ace Suryadi.

07 Januari 2009

TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU

TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU

(Kajian Baru dari Teori Modernisasi)

Oleh : Indrawadi, S.Si, M.AP


1. PENDAHULUAN

Teori Modernisasi Baru atau kajian baru dari Teori Modernisasi lahir sekitar akhir Tahun 1970-an sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh penganut teori dependensia klasik. Kajian baru teori modernisasi juga memberikan kritik balasan atas kelemahan-kelemahan pada teori dependensia klasik.


Adapun hal-hal yang dikritik dari teori dependensi klasik yaitu sebagai berikut :

- Metode Pengkajian

Teori dependensi hanya mengalihkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang lebih bersifat retorika. Selain itu muncul kecenderungan untuk menganalisa dan menetapkan persoalan ketergantungan satu negara dunia ketiga dengan negara lainnya secara tidak berbeda. Hal ini menyebabkan hasil kajian teorinya lebih menggunakan pendekatan deduktif, yang dengan secara gampang dan sederhana memilih data dan menganalisanya untuk sekedar disesuaikan dengan apa yang semestinya secara logis.

Faktor-faktor sejarah yang mungkin justru menjadi faktor yang menentukan dalam menjelaskan satu bentuk dan atah Pembangunan yang khas di negara dunia ketia sering dilupakan dalam kajian teori dependensi klasik.

Teori dependensi klasik hanya melihat situasi ketergantungan sebagai satu fenomena global saja dan hamper tidak menyediakan tempat untuk adanya variasi tingkat nasional.

- Kategori Teoritis

Teori dependensi klasik secara berlebihan menekankan factor eksternal dan melupakan sama sekali dinamika faktor internal seperti peranan kelas sosial dan negara. Selain itu kajian teori ini memberikan gambaran yang kurang tepat mengenai karakteristik negara dunia ketiga yang dikatakan sebagai negara pinggiran yang pasif, hanya memiliki ruang gerak yang sempit untuk terciptanya dinamika politik yang intensif.

- Implikasi Kebijakan

Rumusan kebijaksanaan yang diajukan teori dependensi klasik tidak menjelaskan secara detil dan jelas bagaimana negara dunia ketiga harus bertindak.


Tidak jauh berbeda dengan teori modernisasi, kajian baru teori modernisasi juga memiliki pokok perhatian pada persoalan Pembangunan negara dunia ketiga yang dikenal dengan negara yang sedang berkembang. Kajian baru ini masih menggunakan analisa pada tingkat nasional dan menjelaskan Pembangunan Dunia Ketiga dengan bertitik tolak pada faktor internal seperti nilai-nilai tradisional dan modern serta tetap berpegang pada asumsi pokoknya yaitu bahwa negara dunia ketiga pada umumnya tetap akan memperoleh keuntungan melalui proses modernisasi dan hubungan yang lebih erat dan intensif dengan Barat.


Namun ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara kajian teori modernisasi klasik dengan kajian baru teori Administrasi sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh teori dependensia klasik kepada kajian teori Administrasi modern. Tokoh-tokoh yang mempelopori kajian teori ini antara lain Wong Siu Lun, Michael R. Dove, Samuel Huntington, Winston Davis dan lain-lain.


2. KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI

Seperti disampaikan diatas, ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara hasil kajian teori modernisasi klasik dengan hasil kajian baru teori modernisasi. Hal ini merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi klasik antara lain sebagai berikut :

- Gerak Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi teori evolusi.

- Nilai tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai penghambat sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.

- Metode kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud menjadikan kajian menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya.

- Teori modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.

- Teori modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur dominasi asing dan faktor ekternal.


Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali berbagai asumsi dasar teori modernisasi sebagai bentuk otokritik terhadap kajian teori modernisasi klasik. Bahkan berbagai asumsi yang kurang sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-segan dihilangkan seperti antara lain sebagai berikut :

Ø Hasil kajian baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling bertolak belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang disebut dengan nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan nilai Barat serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses modernisasi.

Ø Secara metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata. Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.

Ø Tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan menjadikan barat sebagai satu-satunya model Pembangunan.

Ø Lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan faktor konflik.

Berikut ini adalah perbandingan antara teori modernisasi klasik, teori dependensi klasik dan teori modernisasi baru :


Persamaan / Perbedaan

Teori Modernisasi Klasik

Teori Modernisasi Baru

Keprihatinan

Negara Dunia Ketiga

Sama

Tingkat Analisa

Nasional

Sama

Variabel Pokok

Faktor Internal : nilai-nilai budaya, pranata sosial

Sama

Konsep Pokok

Tradisional dan Modern

Sama

Implikasi Kebijaksanaan

Modernisasi memberikan manfaat positif

Sama

Tradisi

Sebagai penghalang Pembangunan

Faktor Positif Pembangunan

Metode Kajian

Abstrak dan konstruksi tipologi

Studi Kasus dan Analisa sejarah

Arah Pembangunan

Garis lurus dan menggunakan USA sebagai model

Berarah dan bermodel banyak

Faktor Ekstern dan Konflik

Tidak diperhatikan

Lebih diperhatikan


3. BEBERAPA TEORI PADA KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI

A. Familiisme dan Kewiraswastaan

Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :

1. Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain praktek manajemen ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut pendelegasian wewenang dan kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa pemberian atau penganugerahan penghargaan material lebih didasarkan pada prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang wajar Manajemen sering bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para bawahannya.

2. Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk bekerja lebih keras tetapi dengan upah yang lebih rendah, sehingga membantu Kuatnya posisi bersaing perusahaan keluarga ini. Jika anggota keluarga telah memegang posisi manajerial, usahawan etnis Cina akan dengan sangat teliti memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena itu tenaga manajer keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.

3. Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah menghasilkan satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka. Kalau terjadi perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih cenderung pada pembagian keuntungan disbanding perpecahan fisik hubungan keluarga. Perusahaan keluarga etnis Cina memiliki kemampuan bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan satu kepercayaan antar anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang ditemukan di antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain. Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan untuk saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih mudah melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah untuk membuat keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat berubah, mampu menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen tertulis.


Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang menghambat Pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.


Menurut Wong ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:

1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi

2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.

3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.


B. Kajian Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia

Hasil kajian antropologis dari Dove dan kawan-kawannya ini hendak mencoba melihat Interaksi antara kebijaksanaan Pembangunan nasional Indonesia dan aneka ragam budaya local yang terdapat di Indonesia. Pesan yang ingin disampaikan dari hasil penelitian ini terlihat pada kerangka teoritis yang dipilihnya. Dove menyatakan bahwa tradisional tidak harus berarti terbelakang. Baginya budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, social dan politik dari masyarakat pada tempat makna budaya tradisional tersebut melekat. Budaya tradisional selalu mengalami perubahan dinamis dan tidak menggangu proses Pembangunan.


Menurut Dove banyak pandangan yang salah dari para ilmuwan social dan pengelola pembangunan Indonesia. Mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan penghambat tercapainya kemajuan social ekonomis, kekayaan nasional yang tidak berharga, sebagai factor yang mengganggu proses modernisasi, factor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Sehingga mereka selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.


Lahirnya pandangan yang salah ini karena beberapa factor, antara lain:

1. Ciri penelitian yang ada di Indonesia. Jarang dijumapi penelitian budaya tradisional yang dilakukan secara cermat. Penelitian diatur sedemikian rupa sehingga tidak didapatkan Analisa dan hasil penelitian yang secara detail mencerminkan Interaksi komplek yang terjadi antara kelompok masyarakat pemilik dan pendukung budaya tradisional dengan proyek-proyek pembangunan.

2. Kurang atau bahkan tidak adanya budaya ilmiah yang tinggi di kalangan para peneliti. Sebagaian besar laporan penelitian proyek pembangunan hanya diketahui oleh agen dan penanggung jawab penelitian, sehingga terbuka kesempatan terjadinya persetujuan untuk tidak saling secara kritis menilai laoran tersebut

Dove, dkk juga mencoba melaporkan hasil kajiannya tentang kaitan antara berbagai budaya tradisional Indonesia dengan Pembangunan. Dove mengkatagorikan dalam 4 kelompok yakni :

1. Agama Tradisional

Telah terjadi anggapan keliru di kalangan agen Pembangunan Indonesia terhadap agama-agama tradisional yang banyak dipeluk oleh suku-suku terasing di luar Jawa. Disamping kenyataan bahwa agama-agama tersebut tidak memiliki status formal, juga dilihatnya sebagai agama yang inferior.

2. Ekonomi

Sikap negative pemerintah Indonesia adalah pandangannya tentang sistem kepercayaan tradisional dan penilaiannya terhadap sistem ekonomi tradisional (pertanian lading, mengumpulkan sagu, bertani berpindah-pindah). Ketiga jenis usaha itu di anggap tidak efisien dan tidak dapat dikembangkan untuk keperluan modernisasi. Sehingga tidak ada manfaat ekonomis.

Tetapi menurut Dove menunjukkan hal yang sebaliknya. Ketiga bentuk usaha ekonomi tradisional tersebut memberikan manfaat fungsional terhadap masyarakat pendukungnya

3. Lingkungan Hidup

Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan mendorong penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah lebih cenderung untuk merumuskan dan menetapkan peraturan baru.

Hasil penelitian Dove, usaha pemerintah untuk menggunakan peraturan-pearturan baru tersebut justru sering tidak berhasil dengan baik. Budaya tradisional memiliki peran positif dalam menjaga lingkungan hidup.

4. Perubahan Sosial

Masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki cirri yang dinamis. Selalu mengalami perubahan social terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.

Menurut penelitian, menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai factor penghambat Pembangunan. Bahkan dalam batas-batas tertentu, budaya tradisional dilihatnya dapat berperan positif untuk mendorong laju modernisasi.


C. Teori Barikade

Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai kesalahan berikut :

1. Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan berkembangnya kapitalisme.

2. Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses modernisasi dan civilisasi. Davis berpendapat bahwa jika masyarakat modern memiliki berbagai macam spirit yang berbeda, maka dalam masyarakat tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa setiap spiritnya perlu dan mengalami sekularisasi searah.

3. Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik). Davis menyatakan bahwa jika etos memang memiliki peran sedemikian besar, lantas berapa besar bobot yang harus diberikan kepada peran pemerintah, sistem perbankan, perencanaan indusri dan pranata social lainnya. Loyalitas tidak dapat dan tidak mungkin untuk mewujudkan dalam ruang hampa, tetapi loyalitas akan selalu tersituasikan dalam berbagai jaringan insentif dan ganjaran social, serta dalam jaringan batasan dan kekerasan social.


Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis teori lintas gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang tradisionalisme-bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade untuk melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu sendiri.


Davis melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.

· Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan berprestasi dan universalitas)

· Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan hubungan kekuasaan.

· Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral, hukum, filosofi, dan agama rakyat.


Dengan teori tersebut Davis hendak mencoba menafsirkan kembali hubungan antara agama dan Pembangunan Jepang. Dia memberikan perhatian pada dua aspek, yakni unsur negative agama yang diartikannya sebagai alas an mengapa agama di Jepang gagal menahan perubahan, dan unsur positif agama yang diartikannya dengan bagaimana agama di Jepang mendorong perubahan social. Davis berpendapat bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi adanya perubahan karena alasan berikut ini:

1. Menurut ajaran Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah Pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang.

2. Karena Shinto tidak memiliki perwalian gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengijinkan berlakunya proses modernisasi.

3. Karena adanya kehidupan koeksistensi tiga agama konfusius,budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan derajat toleransi antar agama sangat tinggi.

4. Urbanisasi di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama yang menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan cendekiawan konfusianisme.

5. Bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah PD II, yang didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti banyak pengikut, telah mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, budha, nasrani, dan konfusius.

6. Dengan mengamati tumbuhnya kembali agama rakyat, bahwa kegaiban dan keajaiban sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas pada masyarakat industri modern.


Unsur kedua yang diuji Davis berkaitan dengan unsur positif agama. Baginya agama juga sering dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ekonomi. Sejak masa pramodern agama telah sering digunakan untuk mendorong peningkatan produksi. Davis berkesimpulan bahwa agama rakyat Jepang memberikan lebih banyak sumbangan terhadap pelaksanaan etika kerja rakyat kebanyakan dibanding nilai-nilai simbolik yang lain.


D. Demokrasi di Negara Dunia Ketiga

Huntington merumuskan pertanyaan penelitiannya, yakni apakah akan semakin banyak negara yang lebih demokratis di Tahun 1980-an ini ? Untuk mengamati dan menemukan jawabannya, Huntington membedakan dua factor yakni :

1. Prakondisi yang diperlukan untuk Pembangunan demokrasi.

Huntington menyebutkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan, struktur sosial, lingkungan internasional, dan konteks budaya.

2. Proses politik yang diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.

Huntington membahas 3 model utama proses demokratisasi.

Model linear, demokratisasi dimulai dari munculnya hak-hak sipil yang berkembang menuju munculnya hak politik.

Model Siklus, model yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme.

Model Dialektis, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan pembagian kekuasaan.


Dari ketiga model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington lebih menyukai timbulnya demokrasi yang dimulai dari perumusan dan pengembangan identitas nasional, diikuti dengan pengembangan pranata politik yang efektif dan baru melangkah pada pengembangan partisipasi politik. Berdasarkan model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington menyatakan bahwa pemerintahan demokratis yang dibangun dengan aksi-aksi dan gerakan kerakyatan yang dibangun dari bawah (Bottom Up) sangat jarang dapat bertahan lama. Dengan melakukan negosiasi dan kompromi satu sama lain diantara elite politik, maka pranata politik demokratis akan terwujud dengan mapan.