07 Januari 2009

TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU

TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU

(Kajian Baru dari Teori Modernisasi)

Oleh : Indrawadi, S.Si, M.AP


1. PENDAHULUAN

Teori Modernisasi Baru atau kajian baru dari Teori Modernisasi lahir sekitar akhir Tahun 1970-an sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh penganut teori dependensia klasik. Kajian baru teori modernisasi juga memberikan kritik balasan atas kelemahan-kelemahan pada teori dependensia klasik.


Adapun hal-hal yang dikritik dari teori dependensi klasik yaitu sebagai berikut :

- Metode Pengkajian

Teori dependensi hanya mengalihkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang lebih bersifat retorika. Selain itu muncul kecenderungan untuk menganalisa dan menetapkan persoalan ketergantungan satu negara dunia ketiga dengan negara lainnya secara tidak berbeda. Hal ini menyebabkan hasil kajian teorinya lebih menggunakan pendekatan deduktif, yang dengan secara gampang dan sederhana memilih data dan menganalisanya untuk sekedar disesuaikan dengan apa yang semestinya secara logis.

Faktor-faktor sejarah yang mungkin justru menjadi faktor yang menentukan dalam menjelaskan satu bentuk dan atah Pembangunan yang khas di negara dunia ketia sering dilupakan dalam kajian teori dependensi klasik.

Teori dependensi klasik hanya melihat situasi ketergantungan sebagai satu fenomena global saja dan hamper tidak menyediakan tempat untuk adanya variasi tingkat nasional.

- Kategori Teoritis

Teori dependensi klasik secara berlebihan menekankan factor eksternal dan melupakan sama sekali dinamika faktor internal seperti peranan kelas sosial dan negara. Selain itu kajian teori ini memberikan gambaran yang kurang tepat mengenai karakteristik negara dunia ketiga yang dikatakan sebagai negara pinggiran yang pasif, hanya memiliki ruang gerak yang sempit untuk terciptanya dinamika politik yang intensif.

- Implikasi Kebijakan

Rumusan kebijaksanaan yang diajukan teori dependensi klasik tidak menjelaskan secara detil dan jelas bagaimana negara dunia ketiga harus bertindak.


Tidak jauh berbeda dengan teori modernisasi, kajian baru teori modernisasi juga memiliki pokok perhatian pada persoalan Pembangunan negara dunia ketiga yang dikenal dengan negara yang sedang berkembang. Kajian baru ini masih menggunakan analisa pada tingkat nasional dan menjelaskan Pembangunan Dunia Ketiga dengan bertitik tolak pada faktor internal seperti nilai-nilai tradisional dan modern serta tetap berpegang pada asumsi pokoknya yaitu bahwa negara dunia ketiga pada umumnya tetap akan memperoleh keuntungan melalui proses modernisasi dan hubungan yang lebih erat dan intensif dengan Barat.


Namun ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara kajian teori modernisasi klasik dengan kajian baru teori Administrasi sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh teori dependensia klasik kepada kajian teori Administrasi modern. Tokoh-tokoh yang mempelopori kajian teori ini antara lain Wong Siu Lun, Michael R. Dove, Samuel Huntington, Winston Davis dan lain-lain.


2. KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI

Seperti disampaikan diatas, ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara hasil kajian teori modernisasi klasik dengan hasil kajian baru teori modernisasi. Hal ini merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi klasik antara lain sebagai berikut :

- Gerak Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi teori evolusi.

- Nilai tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai penghambat sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.

- Metode kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud menjadikan kajian menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya.

- Teori modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.

- Teori modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur dominasi asing dan faktor ekternal.


Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali berbagai asumsi dasar teori modernisasi sebagai bentuk otokritik terhadap kajian teori modernisasi klasik. Bahkan berbagai asumsi yang kurang sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-segan dihilangkan seperti antara lain sebagai berikut :

Ø Hasil kajian baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling bertolak belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang disebut dengan nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan nilai Barat serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses modernisasi.

Ø Secara metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata. Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.

Ø Tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan menjadikan barat sebagai satu-satunya model Pembangunan.

Ø Lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan faktor konflik.

Berikut ini adalah perbandingan antara teori modernisasi klasik, teori dependensi klasik dan teori modernisasi baru :


Persamaan / Perbedaan

Teori Modernisasi Klasik

Teori Modernisasi Baru

Keprihatinan

Negara Dunia Ketiga

Sama

Tingkat Analisa

Nasional

Sama

Variabel Pokok

Faktor Internal : nilai-nilai budaya, pranata sosial

Sama

Konsep Pokok

Tradisional dan Modern

Sama

Implikasi Kebijaksanaan

Modernisasi memberikan manfaat positif

Sama

Tradisi

Sebagai penghalang Pembangunan

Faktor Positif Pembangunan

Metode Kajian

Abstrak dan konstruksi tipologi

Studi Kasus dan Analisa sejarah

Arah Pembangunan

Garis lurus dan menggunakan USA sebagai model

Berarah dan bermodel banyak

Faktor Ekstern dan Konflik

Tidak diperhatikan

Lebih diperhatikan


3. BEBERAPA TEORI PADA KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI

A. Familiisme dan Kewiraswastaan

Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :

1. Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain praktek manajemen ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut pendelegasian wewenang dan kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa pemberian atau penganugerahan penghargaan material lebih didasarkan pada prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang wajar Manajemen sering bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para bawahannya.

2. Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk bekerja lebih keras tetapi dengan upah yang lebih rendah, sehingga membantu Kuatnya posisi bersaing perusahaan keluarga ini. Jika anggota keluarga telah memegang posisi manajerial, usahawan etnis Cina akan dengan sangat teliti memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena itu tenaga manajer keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.

3. Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah menghasilkan satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka. Kalau terjadi perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih cenderung pada pembagian keuntungan disbanding perpecahan fisik hubungan keluarga. Perusahaan keluarga etnis Cina memiliki kemampuan bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan satu kepercayaan antar anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang ditemukan di antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain. Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan untuk saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih mudah melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah untuk membuat keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat berubah, mampu menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen tertulis.


Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang menghambat Pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.


Menurut Wong ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:

1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi

2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.

3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.


B. Kajian Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia

Hasil kajian antropologis dari Dove dan kawan-kawannya ini hendak mencoba melihat Interaksi antara kebijaksanaan Pembangunan nasional Indonesia dan aneka ragam budaya local yang terdapat di Indonesia. Pesan yang ingin disampaikan dari hasil penelitian ini terlihat pada kerangka teoritis yang dipilihnya. Dove menyatakan bahwa tradisional tidak harus berarti terbelakang. Baginya budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, social dan politik dari masyarakat pada tempat makna budaya tradisional tersebut melekat. Budaya tradisional selalu mengalami perubahan dinamis dan tidak menggangu proses Pembangunan.


Menurut Dove banyak pandangan yang salah dari para ilmuwan social dan pengelola pembangunan Indonesia. Mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan penghambat tercapainya kemajuan social ekonomis, kekayaan nasional yang tidak berharga, sebagai factor yang mengganggu proses modernisasi, factor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Sehingga mereka selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.


Lahirnya pandangan yang salah ini karena beberapa factor, antara lain:

1. Ciri penelitian yang ada di Indonesia. Jarang dijumapi penelitian budaya tradisional yang dilakukan secara cermat. Penelitian diatur sedemikian rupa sehingga tidak didapatkan Analisa dan hasil penelitian yang secara detail mencerminkan Interaksi komplek yang terjadi antara kelompok masyarakat pemilik dan pendukung budaya tradisional dengan proyek-proyek pembangunan.

2. Kurang atau bahkan tidak adanya budaya ilmiah yang tinggi di kalangan para peneliti. Sebagaian besar laporan penelitian proyek pembangunan hanya diketahui oleh agen dan penanggung jawab penelitian, sehingga terbuka kesempatan terjadinya persetujuan untuk tidak saling secara kritis menilai laoran tersebut

Dove, dkk juga mencoba melaporkan hasil kajiannya tentang kaitan antara berbagai budaya tradisional Indonesia dengan Pembangunan. Dove mengkatagorikan dalam 4 kelompok yakni :

1. Agama Tradisional

Telah terjadi anggapan keliru di kalangan agen Pembangunan Indonesia terhadap agama-agama tradisional yang banyak dipeluk oleh suku-suku terasing di luar Jawa. Disamping kenyataan bahwa agama-agama tersebut tidak memiliki status formal, juga dilihatnya sebagai agama yang inferior.

2. Ekonomi

Sikap negative pemerintah Indonesia adalah pandangannya tentang sistem kepercayaan tradisional dan penilaiannya terhadap sistem ekonomi tradisional (pertanian lading, mengumpulkan sagu, bertani berpindah-pindah). Ketiga jenis usaha itu di anggap tidak efisien dan tidak dapat dikembangkan untuk keperluan modernisasi. Sehingga tidak ada manfaat ekonomis.

Tetapi menurut Dove menunjukkan hal yang sebaliknya. Ketiga bentuk usaha ekonomi tradisional tersebut memberikan manfaat fungsional terhadap masyarakat pendukungnya

3. Lingkungan Hidup

Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan mendorong penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah lebih cenderung untuk merumuskan dan menetapkan peraturan baru.

Hasil penelitian Dove, usaha pemerintah untuk menggunakan peraturan-pearturan baru tersebut justru sering tidak berhasil dengan baik. Budaya tradisional memiliki peran positif dalam menjaga lingkungan hidup.

4. Perubahan Sosial

Masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki cirri yang dinamis. Selalu mengalami perubahan social terus-menerus, sesuai dengan tantangan internal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.

Menurut penelitian, menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai factor penghambat Pembangunan. Bahkan dalam batas-batas tertentu, budaya tradisional dilihatnya dapat berperan positif untuk mendorong laju modernisasi.


C. Teori Barikade

Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai kesalahan berikut :

1. Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan berkembangnya kapitalisme.

2. Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses modernisasi dan civilisasi. Davis berpendapat bahwa jika masyarakat modern memiliki berbagai macam spirit yang berbeda, maka dalam masyarakat tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa setiap spiritnya perlu dan mengalami sekularisasi searah.

3. Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik). Davis menyatakan bahwa jika etos memang memiliki peran sedemikian besar, lantas berapa besar bobot yang harus diberikan kepada peran pemerintah, sistem perbankan, perencanaan indusri dan pranata social lainnya. Loyalitas tidak dapat dan tidak mungkin untuk mewujudkan dalam ruang hampa, tetapi loyalitas akan selalu tersituasikan dalam berbagai jaringan insentif dan ganjaran social, serta dalam jaringan batasan dan kekerasan social.


Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya. Menurut Davis teori lintas gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut pandang peserta lomba modernisasi yang agresif, dan berasumsi bahwa halangan dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui. Davis menawarkan satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang tradisionalisme-bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade untuk melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat tradisional bukan kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan kekejian moral yang timbul sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu sendiri.


Davis melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang terkonsentris.

· Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan berprestasi dan universalitas)

· Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan hubungan kekuasaan.

· Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral, hukum, filosofi, dan agama rakyat.


Dengan teori tersebut Davis hendak mencoba menafsirkan kembali hubungan antara agama dan Pembangunan Jepang. Dia memberikan perhatian pada dua aspek, yakni unsur negative agama yang diartikannya sebagai alas an mengapa agama di Jepang gagal menahan perubahan, dan unsur positif agama yang diartikannya dengan bagaimana agama di Jepang mendorong perubahan social. Davis berpendapat bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi adanya perubahan karena alasan berikut ini:

1. Menurut ajaran Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah Pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang.

2. Karena Shinto tidak memiliki perwalian gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengijinkan berlakunya proses modernisasi.

3. Karena adanya kehidupan koeksistensi tiga agama konfusius,budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan derajat toleransi antar agama sangat tinggi.

4. Urbanisasi di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama yang menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan cendekiawan konfusianisme.

5. Bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah PD II, yang didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti banyak pengikut, telah mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, budha, nasrani, dan konfusius.

6. Dengan mengamati tumbuhnya kembali agama rakyat, bahwa kegaiban dan keajaiban sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas pada masyarakat industri modern.


Unsur kedua yang diuji Davis berkaitan dengan unsur positif agama. Baginya agama juga sering dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ekonomi. Sejak masa pramodern agama telah sering digunakan untuk mendorong peningkatan produksi. Davis berkesimpulan bahwa agama rakyat Jepang memberikan lebih banyak sumbangan terhadap pelaksanaan etika kerja rakyat kebanyakan dibanding nilai-nilai simbolik yang lain.


D. Demokrasi di Negara Dunia Ketiga

Huntington merumuskan pertanyaan penelitiannya, yakni apakah akan semakin banyak negara yang lebih demokratis di Tahun 1980-an ini ? Untuk mengamati dan menemukan jawabannya, Huntington membedakan dua factor yakni :

1. Prakondisi yang diperlukan untuk Pembangunan demokrasi.

Huntington menyebutkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan, struktur sosial, lingkungan internasional, dan konteks budaya.

2. Proses politik yang diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.

Huntington membahas 3 model utama proses demokratisasi.

Model linear, demokratisasi dimulai dari munculnya hak-hak sipil yang berkembang menuju munculnya hak politik.

Model Siklus, model yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme.

Model Dialektis, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan pembagian kekuasaan.


Dari ketiga model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington lebih menyukai timbulnya demokrasi yang dimulai dari perumusan dan pengembangan identitas nasional, diikuti dengan pengembangan pranata politik yang efektif dan baru melangkah pada pengembangan partisipasi politik. Berdasarkan model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington menyatakan bahwa pemerintahan demokratis yang dibangun dengan aksi-aksi dan gerakan kerakyatan yang dibangun dari bawah (Bottom Up) sangat jarang dapat bertahan lama. Dengan melakukan negosiasi dan kompromi satu sama lain diantara elite politik, maka pranata politik demokratis akan terwujud dengan mapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar