AKUNTABILITAS PELAYANAN
PUBLIK
PADA DINAS PENDIDIKAN
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA
BELITUNG
Oleh : INDRAWADI, S.Si, MAP
A. PENDAHULUAN
Tata kepemerintahan yang baik atau
yang sering di istilahkan dengan Good Governance merupakan sesuatu
hal yang menjadi idam-idaman masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari
mereka membayangkan dengan tata kepemerintahan yang baik mereka akan dapat
memiliki pelayanan publik yang baik, angka korupsi semakin rendah dan
pemerintah semakin perduli dengan kepentingan rakyatnya (Agus Dwiyanto : 2006).
Keinginan mewujudkan good
governance tersebut dalam sistem pemerintahan telah lama dinyatakan
oleh Para pejabat di tingkat pusat (nasional),
provinsi dan kabupaten/Kota. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan good
governance tersebut dalam pemerintahan kita. Strategi apa yang cocok
dan sebaiknya dilakukan untuk mewujudkan good governance tersebut?.
Konsep good governance sendiri
memiliki arti yang luas dan sering dipahami secara berbeda-beda. Salah satu hal
yang sering dikaitkan dengan konsep good governance seperti yang diungkapkan
oleh Agus Dwiyanto (2006) yaitu praktek kepemerintahan yang bersih dan bebas
KKN serta berorientasi pada kepentingan publik melalui transparansi, penegakan
hukum dan akuntabilitas publik.
Terselenggaranya good governance
merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai
tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Tim Asistensi Pelaporan AKIP Lembaga
Administrasi Negara (LAN) mengungkapkan bahwa diperlukan pengembangan dan
penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya
guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari KKN .
Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas
suatu instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban instansi pemerintah
untuk mempertanggungjwabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi yang
bersangkutan. Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah
satu instansi pemerintah yang memberikan pelayanan bidang pendidikan di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentu saja harus akuntabel sebagaimana disebutkan diatas.
Untuk melihat bentuk akuntabilitas yang dilaksanakan di lembaga ini, ada baiknya
kita lihat sepintas mengenai Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
B. KAJIAN TEORITIS
AKUNTABILITAS PELAYANAN PUBLIK
Tim Asistensi Pelaporan AKIP LAN-BPKP
mengungkapkan bahwa konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas
manajerial pada tiap tingkatan dalam organisasi yang bertujuan untuk
pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Masing-masing individu pada tiap jajaran
aparatur bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang dilaksanakan pada
bagiannya. Konsep inilah yang membedakan adanya kegiatan-kegiatan yang
terkendali (controllable activities) dan kegiatan-kegiatan yang tidak
terkendali (uncontrollable activities).
Lebih lanjut
tim tersebut mendefinisikan bahwa akuntabilitas merupakan suatu perwujudan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanakan
misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara
periodik.
Dalam kamus
Oxford Advanced Learner’s menjelaskan bahwa accountability adalah keperluan
atau harapan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu kegiatan. Sirajuddin H
Saleh dan Aslam Iqbal (1995) menjelaskan bahwa dalam konteks yang luas,
akuntabilitas merupakan kewajiban menurut peraturan yang berlaku untuk
menyediakan secara benar laporan yang mereka temukan pada level yang lebih
tinggi dalam suatu negara, segala informasi yang memungkinkan tentang
administrasi keuangan pada pengamat netral atau bebas. Hal serupa juga dijelaskan
oleh Tim Asistensi Pelaporan AKIP LAN-BPKP bahwa dalam akuntabilitas terkandung
kewajiban untuk menyajikan dan melaporakan segala tindak-tanduk dan kegiatan
terutama dibidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi.
J.B. Ghartey
yang dikutip Sirajuddin H Saleh dan Aslam Iqbal (1995) di sisi lain menyatakan
bahwa akuntabilitas merupakan penyediaan jawaban untuk pertanyaan yang
berhubungan dengan pelayanan “what, why, who, whom, which dan how”.
Serupa dengan hal tersebut, akuntabilitas juga diartikan sebagai instrumen
kontrol yang baik yang dapat mengamati secara luas bahwa pelayan publik (public
servants) memahami dan mengetahui tanggungjawab atas tugas mereka untuk hasil sesuai dengan yang diharapkan, dan
memiliki otoritas yang setara dengan pertanggungjawaban mereka.
Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas merupakan suatu instrumen kontrol
atau bentuk pertanggungjawaban dari pelayan publik (public servants) atas apa
yang telah mereka kerjakan terkait dengan tugas-tugasnya dalam memberikan
pelayanan pada publik, baik berupa keberhasilan atau kegagalan dalam
pelaksanaan kegiatan.
Joseph G
Jabbra dan OP. Dwivedi (1989) menjelaskan bahwa akuntabilitas terdiri dari Administratie/Organizational
Accountability, Legal Accountability, Political Accountability, Profesional
Accountability dan Moral Accountability. Pada Administratie/Organizational merupakan
hubungan hierarki dari tanggungjawab pusat dan unit seperti bagaimana perintah
dilaksanakan. Legal Accountability berhubungan dengan tindakan dalam public
domain dari proses legislatif dan yudisial yang diterapkan. Political
Accountability merupakan legitimasi dari program publik dari kekuatan
otoritas politik seperti peraturan, penyusunan prioritas, redistribusi sumber
daya dan untuk memastikan pemenuhan pekerjaan. Profesional Accountability
merupakan bentuk pertanggungjawaban profesi dari pelayan publik seperti dokter,
insinyur, pengacara dan lain-lain, terhadap pelayanan yang mereka berikan
kepada publik sesuai dengan norma-norma pada profesi masing-masing.
Moral Accountability bentuk pertanggungjawaban pemerintah secara luas
menurut hukum dan secara moral atas segala tindakan mereka.
Sirajuddin H
Saleh dan Aslam Iqbal (1995) menjelaskan bahwa di
samping banyaknya keberadaan pengaturan kelembagaan untuk pelaksanaan
akuntabilitas, ada hal umum, terutama pada negara berkembang, seperti korupsi, maladministrasi
dan ketidakteraturan yang merajalela dan berbagai pemeriksanaan sudah
digagalkan untuk menghentikannya atau sedikitnya mengendalikan hal tersebut
agar tidak meluas. Beberapa hambatan terciptanya akuntabilitas antara
lain sebagai berikut :
- Persentase melek huruf yang rendah.
- Standar kehidupan yang rendah
- Kemiskinan dan tidak adanya motivasi
- Kemunduran nilai-nilai moral
- Kebijakan dalam bertoleransi
- Faktor Budaya
- Monopoli pemerintah
- Defisiensi sistem anggaran
- Tidak adanya kekuatan untuk pelaksanaan akuntabilitas
- Kerahasiaan birokrasi
- Konflik dalam perspektif dan hubungan antar lembaga
- Kualitas pegawai
- Ketertinggalan teknologi dan sistem pengawasan yang kurang.
- Warisan Kolonial
- Ketidakpastian hukum dalam akuntabilitas
- Krisis lingkungan
Ada tiga hal penting
terkait dengan akuntabilitas seperti yang diutarakan oleh Sirajuddin H Saleh
dan Aslam Iqbal (1995), yaitu :
- Performance Appraisal
- Reporting
- Accounting, Budgeting dan Auditing.
Plumptre T yang dikutip oleh
Sirajuddin H Saleh mengidentifikasi beberapa panduan untuk memperoleh
akuntabilitas, yaitu Exemplary Leadership (contoh kepemimpinan), Public Debate
(debat publik), Coordination (koordinasi), Autonomy (otonomi), Explicitness and
Clarity (kejelasan dan ketegasan), Legitimacy and acceptance (legitimasi dan
penerimaan), Negotiation (negosiasi), Educational campaign and Publicity
(peningkatan pendidikan dan publisitas), Feedback and evaluation (umpan balik
dan evaluasi), dan Adaptation and recycling (adaptasi dan perputaran).
C. AKUNTABILITAS PADA
DINAS PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Berdasarkan undang-undang otonomi daerah, pendidikan
merupakan salah satu urusan yang di otonomikan kepada pemerintah daerah dengan
rincian dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bahwa pendidikan Dasar
dan Menengah (SD, SMP, SMA dan SMK) pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, sedangkan Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau pendidikan layanan
khusus pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan untuk Perguruan
Tinggi Pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional.
Pola penentuan arah kebijakan dilakukan dengan model
Bottom Up dan Top Down, serta partisipatif, dimana Pemerintah Pusat menentukan
arah kebijakan pendidikan nasional berdasarkan masukan dari Pemerintah
Provinsi. Arah Kebijakah Pendidikan Nasional ini kemudian dijabarkan oleh
Pemerintah Provinsi menjadi arah kebijakan pendidikan provinsi dengan
memperhatikan masukan dari Pemerintah Kabupaten dan Kota dan arah kebijakan
pendidikan provinsi ini menjadi dasar bagi Kabupaten dan Kota untuk menentukan
kebijakan pendidikan di Kabupaten masing-masing dengan memperhatikan masukan
dari sekolah sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan tersebut. Dalam setiap
tingkatan level pengelola pendidikan terjalin suatu koordinasi seperti yang
digambarkan dalam gambar 3.
Sistem penentuan arah kebijakan pendidikan ini
berimplementasi pada sistem perencanaan dan penganggaran suatu kegiatan. Pada
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat dua sumber
anggaran kegiatan, yaitu Anggaran Dekonsentrasi dari dana APBN dan Anggaran
yang berasal dari APBD Provinsi. Penggunaan dua sumber anggaran ini dapat
terjadi tumpang tindih. Untuk itulah diperlukan suatu bentuk perencanaan yang
matang sehingga tidak terjadi tumpang tindih anggaran.
Gambar 3. Garis Koordinasi
Kebijakan Pendidikan Nasional
Bentuk akuntabilitas pada dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dapat dilihat mekanisme administratif, keuangan,
legal, dan ekstra administratif sebagai
berikut :
1.
Mekanisme administratif.
Pada mekanisme administratif, Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung selalu membuat laporan hasil pelaksanaan kegiatan
kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung sebagai Kepala Daerah. Namun untuk
kegiatan yang berasal dari dana dekonsentrasi seringkali Gubernur tidak
mengetahui penggunaan dana tersebut karena sistem pelaporannya langsung kepada
Pengelola Kegiatan Pusat di Kemendikbud. Begitu juga bentuk pelaporan-pelaporan dari sekolah penerima
bantuan baik yang berasal dari dana Dekonsentrasi maupun dana APBD Provinsi
seringkali pelaporannya langsung kepada Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota, dalam hal ini Dinas
Pendidikannya mendapatkan pelaporan dari sekolah penerima bantuan. Padahal
pemberian bantuan kepada sekolah tersebut selalu berdasarkan usulan dari Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota.
Pada saat ini telah dicoba usaha penertiban bentuk
laporan-laporan pelaksanaan kegiatan terutama dari sekolah penerima bantuan
yang berasal dari dana dekonsentrasi maupun APBD Provinsi bahwa setiap laporan
yang dibuat harus diketahui oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Begitu juga
untuk pelaporan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan
Provinsi selalu ditembuskan kepada Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
Salah satu hal yang sangat sering terjadi dalam pelaporan
pelaksanaan kegiatan yaitu keterlambatan penyusunan laporan. Hal ini terjadi
pada setiap jenjang dan tingkatan. Seringkali Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung memberikan teguran kepada Sekolah penerima bantuan
melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang terlambat untuk menyerahkan
laporan pelaksanaan kegiatannya. Keterlambatan ini menyebabkan keterlambatan
penyusunan laporan Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk
Gubernur dan Kemendikbud juga menjadi terlambat.
Pada awalnya pengukuran kinerja Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung hanya berdasarkan pencapaian sasaran dari kegiatan
yang bersumber dari dana APBD Provinsi saja. Sedangkan untuk pencapaian sasaran
kegiatan dari dana dekonsentrasi tidak dimasukkan dalam kinerja Dinas
Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan tidak termasuk dalam laporan
pertanggungjawaban Gubernur. Namun sudah ada upaya untuk memperbaiki hal ini
dengan mulai memasukkan pencapaian sasaran kegiatan yang menggunakan dana
dekonsentrasi sebagai salah satu indikator kinerja dari Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
2.
Mekanisme Keuangan.
Ada dua jenis
mekanisme keuangan yang dilaksanakan di Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung, yaitu melalui Kantor Pelayanan Keuangan Negara (KPKN) untuk
dana dekonstrasi dan melalui DPPKAD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk dana yang berasal dari
APBD Provinsi. Kedua mekanisme ini pada umumnya sama, hanya berbeda tempat
pencairan dananya saja, yaitu dimulai dari penerbitan Surat Permintaan
Pembayaran oleh Dinas hingga dikeluarkannya SP2D oleh KPKN maupun DPPKAD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Mengingat ada dua sumber dana pelaksanaan kegiatan,
Dinas Pendidikan selalu menyusun perencanaan anggaran terpadu baik untuk dana
dekonsentrasi maupun dana APBD Provinsi sehingga tidak terjadi tumpang tindih
anggaran. Biasanya perencanaan kegiatan yang berasal dari dana dekonsentrasi
direncana terlebih dahulu bersama-sama dengan pihak Kemendikbud, kemudian baru
diikuti oleh perencanaan kegiatan yang berasal dari dana APBD Provinsi.
Penganggaran kegiatan dari dana dekonsentrasi tidak
melibatkan unsur legislatif, dalam hal ini DPR Provinsi maupun Bappeda, tetapi
langsung ditangani oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang berkoordinasi dengan
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan pihak Kemendikbud.
Untuk perencanaan dan penganggaran kegiatan yang berasal
dari dana APBD Provinsi melalui proses mulai dari usulan Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung kepada Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang kemudian
bersama-sama dengan kegiatan pada instansi lain diusulkan kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Anggaran yang disetujui kemudian diusulkan dalam bentuk RAPBD
Provinsi kepada DPRD melalui Panitia Anggaran dan dibahas bersama dan
menghasilkan APBD Provinsi.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung telah berusaha memenuhi kebutuhan
masyarakatnya akan pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari
peningkatan anggaran pendidikan dari
tahun ke tahun. Sistem pelaksanaan kegiatan terutama untuk peningkatan mutu
sekolah dilaksanakan secara swakelola oleh SKPD terkait di Kabupaten/Kota, sekolah dan masyarakat sendiri melalui komite sekolah.
Untuk pelaksanaan kegiatan tertentu
dilaksanakan dengan menggunakan penyedia barang/jasa. Dalam
setiap kegiatan seperti rehabilitasi sekolah selalu melibatkan SKPD terkait di Kabupaten/Kota dan masyarakat dalam mulai dari perencanaan hingga kontrolnya. Dinas
Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam hal ini hanya memfasilitasi
pelaksanaan kegiatan dan membuat petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan tersebut.
Selain kontrol yang dilakukan oleh masyarakat, kontrol
keuangan yang dilakukan pada Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung untuk pengelolaan dana dekonsentrasi dilakukan secara terpisah dan
dengan waktu yang berbeda dengan kontrol keuangan untuk pengelolaan dana APBD
Provinsi. Untuk kontrol keuangan dana dekonsentrasi biaya dilakukan oleh auditor
dari Inspektorat Jenderal Kemendikbud atau auditor dari BPKP. Sedangkan untuk kontrol keuangan dari dana
APBD Provinsi biasanya dilakukan oleh auditor dari Inspektorat Daerah atau
dari BPKP/BPK.
Hal inilah yang menimbulkan terbukanya peluang penyelewangan dana dengan modus
anggaran yang tumpang tindik karena audit keuangan dilaksanakan oleh dua
lembaga yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula.
3.
Mekanisme Legislasi.
Peran DPR Provinsi dalam perencanaan hanya terlihat pada
perencanaan dan penganggaran kegiatan yang berasal dari dana APBD Provinsi saja.
Namun untuk kontrol pelaksanaan kegiatan DPR Provinsi mempunyai wewenang untuk
mengontrol kegiatan yang berasal dari dana dekonsentrasi maupun dana APBD
Provinsi.
Dalam perencanaan dan penganggaran kegiatan dari dana
APBD Provinsi bahkan dapat dikatan peran DPR Provinsi sangat kuat sekali. Bahkan tidak menutup
kemungkinan munculnya suatu kegiatan yang sebenarnya tidak diusulkan oleh pemerintah daerah dalam
APBD provinsi tersebut. Bahkan kegiatan tersebut seringkali hanya untuk
kepentingan politik pribadi dari Anggoran DPR Provinsi.
4.
Mekanisme Ekstra
Administratif
Untuk menciptakan transparansi dalam setiap penggunaan
anggaran, Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memanfaatkan
media cetak maupun media elektronik yang ada untuk menginformasikan jumlah anggaran dan bentuk kegiatan
yang akan dilaksanakan. Bahkan pencapaian sasaran kegiatan juga diinformasikan
dalam media ini.
Media massa
juga berperan memberikan kontrol pada pencapaian sasaran kegiatan. Bahkan telah
disiapkan kolom khusus untuk pengaduan masyarakat atas kepuasan atau
ketidakpuasan mereka terhadap kegiatan yang dilaksanakan di daerah sekitarnya.
Selain media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
juga turut berperan dalam pengawasan pelaksanaan kegiatan serta segala macam
aktivitas Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun sangat
disayangkan ada sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengambil keuntungan
pribadi dengan menakut-nakuti dan mengintimidasi bahkan dengan ancaman terutama
pihak sekolah tempat pelaksanaan kegiatan. Banyak pula Lembaga Swadaya
Masyarakat yang akhirnya berperan sebagai makelar proyek yang semestinya harus
dikerjakan secara swakelola oleh sekolah dan masyarakat akhirnya diserahkan
kepada pemborong dengan imbalan untuk “pengamanan” proyek tersebut dari auditor
atau pemeriksa.
5.
Etika dan
Profesionalisme untuk Peningkatan Akuntabilitas
Permasalahan etika di antara pegawai
berkisar antara hal yang kecil ke hal yang utama tidak hanya merusak gambaran dari pelayanan publik yang diberikan pada
masyarakat. Etika di pelayanan publik menyiratkan suatu standard dan prinsip
moral yang diperlukan oleh pegawai negeri dalam melakukan/menyelenggarakan
tugaskan masing-masing.
Pada Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, masalah etika kerja pegawai sering menjadi
penghambat untuk menciptakan suatu akuntabilitas. Seringnya pegawai yang datang
terlambat serta tidak berada di tempat pada saat jam kerja menjadi persoalan
utama disini. Hal ini tentu saja merupakan penghambat dalam memberikan layanan
kepada masyarakat. Untuk pegawai yang tidak berada ditempat pada saat jam kerja
masih dapat dimaklumi karena sedikitnya pegawai pada Dinas Pendidikan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Pada saat tertentu banyak pegawai yang menghadiri
undangan dari instansi terkait sehingga pada waktu yang bersamaan harus
meninggalkan ruang kerjanya. Namun semestinya ada pendelegasian tugas yang
jelas sehingga tugas-tugas dalam memberikan pelayanan pada publik tidak
terganggu dengan ketidakhadiran pegawai dan terjadi efisiensi pelaksanaan
tugas.
Selain itu masih ada pegawai yang
menunda-nunda tugas yang diberikan padanya dengan alasan yang tidak jelas.
Secara sistem, keterlambatan salah satu bagian berarti juga akan menghambat
kerja bagian yang lain sehingga efisiensi yang diharapkan tidak terwujud dan
pelayanan yang diberikan pada masyarakat tidak maksimal.
Efisiensi dan akuntabilitas
pelayanan publik yang diberikan pada masyarakat tentu saja berhubungan dengan
tingkat keprofesionalan pegawai. Profesionalisme menyiratkan keberadaan
kualitas, nilai-nilai dan keterampilan berhubungan dengan capaian dari suatu
pekerjaan spesifik. Pada Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
penempatan pegawai umumnya tidak memperhatikan latar belakang pendidikan dan
pengalaman kerja serta pelatihan yang diperoleh oleh pegawai tersebut sehingga penempatan
pegawai tersebut seringkali tidak tepat. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi
kualitas kerja si pegawai yang bersangkutan yang berimplikasi tertundanya
tugas-tugas atau lambatnya penyelesaian tugas yang diberikan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto. Agus., 2006, Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik, Gajah
Mada University
: Yogyakarta.
Jabbra. Joseph G., dan Dwivedi.O.P., 1989, Public
Service Accountability : A Comparative Perspective, Kumarian Press. Inc
: Connecticut USA.
Newman,
Janet., 2004, Constructing
Accountability: Network Governance and Managerial Agency, Public Policy and Administration Journal Edisi
14 Tahun 2004, Sage Publication, On Behalf of Public Administration Committee.
Saleh. Sirajuddin H., and Aslam Iqbal., 1995,
Accountability : The Endless Prophecy,
Asian and Pacifik Development Centre : Kuala
Lumpur.
Tim Asistensi Pelaporan AKIP, Akuntabilitas dan Good Governance,
Modul 1, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(AKIP), Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
: Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar