TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU
(Kajian Baru dari Teori Modernisasi)
Oleh : Indrawadi, S.Si, M.AP
1. PENDAHULUAN
Teori Modernisasi Baru atau kajian baru dari Teori Modernisasi lahir sekitar akhir Tahun 1970-an sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh penganut teori dependensia klasik. Kajian baru teori modernisasi juga memberikan kritik balasan atas kelemahan-kelemahan pada teori dependensia klasik.
Adapun hal-hal yang dikritik dari teori dependensi klasik yaitu sebagai berikut :
- Metode Pengkajian
Teori dependensi hanya mengalihkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang lebih bersifat retorika. Selain itu muncul kecenderungan untuk menganalisa dan menetapkan persoalan ketergantungan satu negara dunia ketiga dengan negara lainnya secara tidak berbeda. Hal ini menyebabkan hasil kajian teorinya lebih menggunakan pendekatan deduktif, yang dengan secara gampang dan sederhana memilih data dan menganalisanya untuk sekedar disesuaikan dengan apa yang semestinya secara logis.
Faktor-faktor sejarah yang mungkin justru menjadi faktor yang menentukan dalam menjelaskan satu bentuk dan atah Pembangunan yang khas di negara dunia ketia sering dilupakan dalam kajian teori dependensi klasik.
Teori dependensi klasik hanya melihat situasi ketergantungan sebagai satu fenomena global saja dan hamper tidak menyediakan tempat untuk adanya variasi tingkat nasional.
- Kategori Teoritis
Teori dependensi klasik secara berlebihan menekankan factor eksternal dan melupakan sama sekali dinamika faktor internal seperti peranan kelas sosial dan negara. Selain itu kajian teori ini memberikan gambaran yang kurang tepat mengenai karakteristik negara dunia ketiga yang dikatakan sebagai negara pinggiran yang pasif, hanya memiliki ruang gerak yang sempit untuk terciptanya dinamika politik yang intensif.
- Implikasi Kebijakan
Rumusan kebijaksanaan yang diajukan teori dependensi klasik tidak menjelaskan secara detil dan jelas bagaimana negara dunia ketiga harus bertindak.
Tidak jauh berbeda dengan teori modernisasi, kajian baru teori modernisasi juga memiliki pokok perhatian pada persoalan Pembangunan negara dunia ketiga yang dikenal dengan negara yang sedang berkembang. Kajian baru ini masih menggunakan analisa pada tingkat nasional dan menjelaskan Pembangunan Dunia Ketiga dengan bertitik tolak pada faktor internal seperti nilai-nilai tradisional dan modern serta tetap berpegang pada asumsi pokoknya yaitu bahwa negara dunia ketiga pada umumnya tetap akan memperoleh keuntungan melalui proses modernisasi dan hubungan yang lebih erat dan intensif dengan Barat.
Namun ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara kajian teori modernisasi klasik dengan kajian baru teori Administrasi sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh teori dependensia klasik kepada kajian teori Administrasi modern. Tokoh-tokoh yang mempelopori kajian teori ini antara lain Wong Siu Lun, Michael R. Dove, Samuel Huntington, Winston Davis dan lain-lain.
2. KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI
Seperti disampaikan diatas, ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara hasil kajian teori modernisasi klasik dengan hasil kajian baru teori modernisasi. Hal ini merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi klasik antara lain sebagai berikut :
- Gerak Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi teori evolusi.
- Nilai tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai penghambat sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.
- Metode kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud menjadikan kajian menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan waktu dalam analisanya.
- Teori modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.
- Teori modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur dominasi asing dan faktor ekternal.
Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali berbagai asumsi dasar teori modernisasi sebagai bentuk otokritik terhadap kajian teori modernisasi klasik. Bahkan berbagai asumsi yang kurang sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-segan dihilangkan seperti antara lain sebagai berikut :
Ø Hasil kajian baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling bertolak belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang disebut dengan nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan nilai Barat serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses modernisasi.
Ø Secara metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata. Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.
Ø Tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan menjadikan barat sebagai satu-satunya model Pembangunan.
Ø Lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan faktor konflik.
Berikut ini adalah perbandingan antara teori modernisasi klasik, teori dependensi klasik dan teori modernisasi baru :
Persamaan / Perbedaan | Teori Modernisasi Klasik | Teori Modernisasi Baru |
Keprihatinan | Negara Dunia Ketiga | Sama |
Tingkat Analisa | Nasional | Sama |
Variabel Pokok | Faktor Internal : nilai-nilai budaya, pranata sosial | Sama |
Konsep Pokok | Tradisional dan Modern | Sama |
Implikasi Kebijaksanaan | Modernisasi memberikan manfaat positif | Sama |
Tradisi | Sebagai penghalang Pembangunan | Faktor Positif Pembangunan |
Metode Kajian | Abstrak dan konstruksi tipologi | Studi Kasus dan Analisa sejarah |
Arah Pembangunan | Garis lurus dan menggunakan | Berarah dan bermodel banyak |
Faktor Ekstern dan Konflik | Tidak diperhatikan | Lebih diperhatikan |
3. BEBERAPA TEORI PADA KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI
A. Familiisme dan Kewiraswastaan
Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap Pembangunan ekonomi. Pemikirannya antara lain :
1. Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong. Di industri yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata pengendalian dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain praktek manajemen ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut pendelegasian wewenang dan kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa pemberian atau penganugerahan penghargaan material lebih didasarkan pada prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang wajar Manajemen sering bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para bawahannya.
2. Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai badan usaha Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan tenaga kerja keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk bekerja lebih keras tetapi dengan upah yang lebih rendah, sehingga membantu Kuatnya posisi bersaing perusahaan keluarga ini. Jika anggota keluarga telah memegang posisi manajerial, usahawan etnis Cina akan dengan sangat teliti memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena itu tenaga manajer keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.
3. Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis Cina di Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah menghasilkan satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi yang pada gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi mereka. Kalau terjadi perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih cenderung pada pembagian keuntungan disbanding perpecahan fisik hubungan keluarga. Perusahaan keluarga etnis Cina memiliki kemampuan bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan satu kepercayaan antar anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang ditemukan di antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain. Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan untuk saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih mudah melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah untuk membuat keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat berubah, mampu menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen tertulis.
Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang menghambat Pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos ekonomi dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur organisasi
2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam posisi tidak stabil.
B. Kajian Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia
Hasil kajian antropologis dari Dove dan kawan-kawannya ini hendak mencoba melihat Interaksi antara kebijaksanaan Pembangunan nasional
Menurut Dove banyak pandangan yang salah dari para ilmuwan social dan pengelola pembangunan
Lahirnya pandangan yang salah ini karena beberapa factor, antara lain:
1. Ciri penelitian yang ada di
2. Kurang atau bahkan tidak adanya budaya ilmiah yang tinggi di kalangan para peneliti. Sebagaian besar laporan penelitian proyek pembangunan hanya diketahui oleh agen dan penanggung jawab penelitian, sehingga terbuka kesempatan terjadinya persetujuan untuk tidak saling secara kritis menilai laoran tersebut
Dove, dkk juga mencoba melaporkan hasil kajiannya tentang kaitan antara berbagai budaya tradisional
1. Agama Tradisional
Telah terjadi anggapan keliru di kalangan agen Pembangunan
2. Ekonomi
Sikap negative pemerintah
Tetapi menurut Dove menunjukkan hal yang sebaliknya. Ketiga bentuk usaha ekonomi tradisional tersebut memberikan manfaat fungsional terhadap masyarakat pendukungnya
3. Lingkungan Hidup
Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan mendorong penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah lebih cenderung untuk merumuskan dan menetapkan peraturan baru.
Hasil penelitian Dove, usaha pemerintah untuk menggunakan peraturan-pearturan baru tersebut justru sering tidak berhasil dengan baik. Budaya tradisional memiliki peran positif dalam menjaga lingkungan hidup.
4. Perubahan Sosial
Masyarakat tradisional
Menurut penelitian, menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai factor penghambat Pembangunan. Bahkan dalam batas-batas tertentu, budaya tradisional dilihatnya dapat berperan positif untuk mendorong laju modernisasi.
C. Teori Barikade
Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan telah membuat berbagai kesalahan berikut :
1. Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan berkembangnya kapitalisme.
2. Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses modernisasi dan civilisasi.
3. Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan, ketidakloyalan, konflik).
· Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait. (kebutuhan berprestasi dan universalitas)
· Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait status, dan hubungan kekuasaan.
· Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang ditumbuhkan oleh masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan ekonomi. Barikade ini antara lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama tradisional, nilai-nilai moral, hukum, filosofi, dan agama rakyat.
Dengan teori tersebut
1. Menurut ajaran Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat sesuatu untuk mencegah Pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang.
2. Karena Shinto tidak memiliki perwalian gereja yang universal untuk mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah lagi untuk mengijinkan berlakunya proses modernisasi.
3. Karena adanya kehidupan koeksistensi tiga agama konfusius,budhisme, dan Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan derajat toleransi antar agama sangat tinggi.
4. Urbanisasi di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama yang menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada kehidupan dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan cendekiawan konfusianisme.
5. Bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah PD II, yang didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti banyak pengikut, telah mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru pada lapisan masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, budha, nasrani, dan konfusius.
6. Dengan mengamati tumbuhnya kembali agama rakyat, bahwa kegaiban dan keajaiban sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas pada masyarakat industri modern.
Unsur kedua yang diuji
D. Demokrasi di Negara Dunia Ketiga
1. Prakondisi yang diperlukan untuk Pembangunan demokrasi.
2. Proses politik yang diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.
Model linear, demokratisasi dimulai dari munculnya hak-hak sipil yang berkembang menuju munculnya hak politik.
Model Siklus, model yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari munculnya demokrasi dan despotisme.
Model Dialektis, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan pembagian kekuasaan.
Dari ketiga model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington lebih menyukai timbulnya demokrasi yang dimulai dari perumusan dan pengembangan identitas nasional, diikuti dengan pengembangan pranata politik yang efektif dan baru melangkah pada pengembangan partisipasi politik. Berdasarkan model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington menyatakan bahwa pemerintahan demokratis yang dibangun dengan aksi-aksi dan gerakan kerakyatan yang dibangun dari bawah (Bottom Up) sangat jarang dapat bertahan lama. Dengan melakukan negosiasi dan kompromi satu sama lain diantara elite politik, maka pranata politik demokratis akan terwujud dengan mapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar