04 Oktober 2014

PELESTARIAN BAHASA MELAYU BANGKA BELITONG MELALUI PENDIDIKAN SEBAGAI WUJUD PELESTARIAN IDENTITAS MASYARAKAT MELAYU BANGKA BELITONG

PELESTARIAN BAHASA MELAYU BANGKA BELITUNG MELALUI PENDIDIKAN SEBAGAI WUJUD PELESTARIAN IDENTITAS MASYARAKAT MELAYU BANGKA BELITONG



Oleh :
INDRAWADI, S.Si, MAP
Kepala Seksi Penyusunan Rencana dan Program
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kebahasaan, Pangkalpinang, 25 September 2014


Memancing ikan Tenggiri di pinggiran.
Dapatnya ikan kerisi diletakkan dekat kayu dalam tong.
Perkenankan kami untuk mengungkapkan segala olah rasa dan pikiran
Untuk pelestarian bahasa negeri, bahasa melayu Bangka Belitong.

Demikian sebuah pantun pembuka yang disampaikan sebagai kebiasaan danciri khas orang melayu, termasuk orang melayu di Bangka Belitung atau sebagian menamakan diri orang melayu pesisir. Pantun ini disampaikan dalam BahasaIndonesia agar mudah dimengerti oleh seluruh orang.

Secara umum bahasa daerah di Bangka Belitung merupakan bahasa melayu dengan berbagai macam dialek. Ada dialek Pangkalpinang, dialek masyarakat DesaTua Tunu, dialek masyarakat Sijuk, dialek masyarakat Belinyu, dan lain-lain. Masyarakat Bangka Belitung memang terdiri dari berbagai suku dan etnis dengan mayoritas merupakan suku melayu atau keturunan suku melayu. Di masyarakat Bangka Belitung sendiri telah terjadi pencampuran suku dan etnis yang justru menimbulkan pembauran bahasa yang menambah kaya bahasa daerah itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat dari etnis Tionghoa sering mengucapkan bahasa bangkadan dialek Tionghoa yang berbeda seperti kebanyakan bahasa bangka yang lain.



Penyampaian pantun pembuka seperti tadi sudah jarang sekali kita dengar. Dimasa orang tua kita dahulu, pantun seperti ini sudah menjadi kebiasaan. Pada setiap acara resmi pemerintahan, upacara-upacara adat, padasetiap acara hajatan dan lain-lain. Ini merupakan indikasi mulai lunturnya penggunaan bahasa dan budaya daerah di lapisan masyarakat, bahkan juga dijajaran pemerintahan. Padahal, banyak yang mengatakan bahwa Bahasa Daerah itumerupakan identitas suatu kelompok masyarakat di suatu daerah. Dengan menghilangnya bahasa daerah ini, maka otomatis daerah atau kelompok masyarakat tersebut sudah kehilangan salah satu identitasnya.

Sebagai contoh, di Pulau Belitung terdapat bahasa Juru (digunakan oleh masyarakat Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan) yang hingga saat ini kurangdari 10 (sepuluh) orang penutur saja yang kebetulan penutur ini sudah berusia lanjut semua (Harian Pos Belitung : 2013). Sudah sangat jarang sekali masyarakat juru terutama kaum mudanya yang menggunakan bahasa juru sebagai bahasa keseharian mereka karena takut dianggap kampungan atau malu dianggap sebagai komunitas tertinggal dan terbelakang. Bahkan untuk bahasa tulisan, hampir-hampir tidak ada lagi masyarakat di Bangka Belitung yang mampu untuk membuat tulisan arab-melayu sebagai bahasa tulisan melayu Bangka Belitung.

Pernahkah Anda mendengarkan bahasa seperti ini : “Selamat detang di Negrik LaskarPelangek. Akuk mengewakilnyak derik Sukuk Sawang ngucapnyak terima kasih keiko, semuak usak ade masala akuk ngucapla selamat semuak nyaman iko bejelan”.(Selamat datang di Negeri Laskar Pelangi. Saya mewakili Suku Sawang mengucapkan terima kasih, semoga perjalanan anda selamat dan menyenangkan). Ini adalah bahasa suku Sawang di Belitong yang saat ini sudah sangat jarang sekali terdengar yang dituturkan oleh salah satu penuturnya (dikutip dari dari harian Pos Belitung tanggal 11 Januari 2014).

Mengapa bahasa daerah ini sampai punah dan bagaimana upaya pelestariannya?

Untuk dapat menentukan upaya pelestarian bahasa melayu Bangka Belitungtentunya harus dipahami dulu apa saja yang menjadi penyebab lunturnya penggunaan bahasa daerah. Salah satu penyebab tersebut yaitu adanya Arus budaya utama (mainstream) telah menggiring orang-orang Indonesia untuk turut bagian dalam budaya global (Rengga Muslim : 2013). Standar peradaban diukur dari cara global dalam melihat berbagai hal, termasuk dari sudut pandang berbahasa. Banyak sekali kaum muda Bangka Belitung yang merantau ke daerah lain seperti Jakarta dan begitu pulang ke kampung halaman di Bangka Belitung sudah menggunakan bahasa Betawi yang dianggap bahasa yang keren dan modern. Begitu pula dengan kencangnya arus informasi global melalui media televisi dan radio serta pendatang dari luar daerah yang akhirnya banyak ditiru dan diucapkan oleh anak-anak dan kaum muda bahkan kalangan tua dalam pergaulan sehari-sehari sehingga menyebabkan jarangnya penggunaan kosa kata daerah dan akhirnya menghilang dari peredaran.

Sebagai contoh kasus ini yaitu untuk kosa kata “kelik”. Kelik dalam bahasa melayu bangka dan belitung secara umum yaitu merupakan nama ikan yang dalam bahasa Indonesia disebut “lele”. Dengan masuknya pedagang (umumnya dari Jawa) yang menjajakan jenis masakan yang sering disebut “Pecel Lele” maka kosa kata “kelik”sudah mulai jarang dipakai oleh masyarakat Bangka Belitung. Belum pernah ada masyarakat melayu Bangka Belitung yang menyebutkan “Pecel Kelik”. Mereka selalu menyebutkan “Pecel Lele” dan akhirnya lama-lama bukan tidak mungkin masyarakat Bangka Belitung tidak lagi mengenal kosa kata “Ikan Kelik”.  Bahkan bukan tidak mungkin nantinya akan hilang salah satu pepatah dalam bahasa Bangka “Ikan Kelik dibawah Batu”dan berubah menjadi “Ikan Lele dibawah batu”.

Hal lain yang menyebabkan punahnya kosa kata dalam bahasa daerah yang menjadi cikal bakal punahnya bahasa daerah yaitu Peng-Indonesia-an nama daerah. Sebagai contoh yaitu nama “Belitong” tetapi kemudian di buatkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Belitung” sehingga sering ditanyakan yang benar itu apakah “Belitong” atau “Belitung”. Demikian pula halnya dengan  kata “Air” yang dalam bahasa Bangka Belitung disebut ”Aik”. Nama desa/kampung seperti “Aik Itam”, Aik Selan”, “Aik Sagak”, “AikMadu” saat ini telah di Indonesiakan sehingga menjadi  “Air Itam”, Air Selan”, “Air Saga”, “AirMadu”. Pada penggunaannya nanti akan menyebabkan hilangnya kata “Aik” dalam bahasa Bangka Belitung. Untung saja untuk daerah Jawa Barat dan Banten hal ini tidak dilakukan dan tidak pernah orang menyebutkan “KaliLiwung” untuk “Ciliwung” atau “Kali Sadane” untuk “Cisadane” atau kalau di daerah Lampung disebutkan “Air Kambas” untuk “Way Kambas” serta menyebutkan “Kota Sala” untuk “Kota Solo”.

Masih banyak lagi penyebab mulai punahnya suatu bahasa daerah seperti masyarakat yang enggan disebutkan sebagai anggota suku terasing (kasus bahasa juru seberang dan bahasasuku sawang) dan lainnya sebagainya.

Dari beberapa penyebab diatas, sebetulnya telah dilakukan beberapa upaya oleh Pemerintah Daerah untuk pelestarian bahasa daerah ini, khususnya di Bangka Belitung. Perlu diberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Kota Pangkalpinang yang telah mengupayakan penulisan nama jalan di Kota Pangkalpinang dengan menggunakan 2 (dua) jenis tulisan, yaitu dalam aksara latin dan aksara arab gundul. Hal ini sangat penting dilakukan dan paling tidak berdampak pada keingintahuan masyarakat untuk kembali membaca tulisan melayu dalam aksara arab gundul.

Demikian pulaupaya-upaya yang dilakukan oleh media cetak dan radio yang pada hari-hari tertentu telah menyediakan ruang untuk penggunaan cerita atau pantun dalam bahasa daerah. Paling tidak, upaya ini diharapkan akan mampu menimbulkan rasa cinta, senang dan bahagia bagi masyarakat untuk menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, khususnya dalam pergaulan antar sesama daerahnya.

Pelestarian bahasa daerah di Bangka Belitung ini juga telah dilakukan oleh perkumpulan-perkumpulan masyarakat maupun perseorangan seperti yang dilakukan oleh Komunitas Telinsong Budaya melalui salah satu tokoh pendirinya yang bahkan telah menerbitkan buku cerita dalam Bahasa Belitong dengan judul “Ngenjungak Republik Kelekak”. Buku ini yang ditulis oleh Fithrorozi ini diluncurkan pada tanggal 12 Pebruari 2011 yang hingga kini telah beredar hingga ke Malaysia (Tribun News : Mei 2011).  Dengan adanya buku cerita rakyat dalam bahasa daerah ini tentunya akan mampu mengingatkan kembali pada masyarakat di Belitong khususnya akan beberapa kosa kata yang sudah jarang sekali digunakan karena tergeser oleh bahasa lain.


Hal yang tak kalah pentingnya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu dengan menuliskan kembali nama-nama daerah sesuai dengan dialek asli masyarakatnya. Hal ini tentu saja akan membuat bangga masyarakat daerah tersebut akan bahasa daerahnya dan inilah makna yang sebenarnya dari Bahasa Daerah menunjukkan Identitas Daerah tersebut. Upaya ini sekaligus akan mampu memperkenalkan budaya daerah melalui bahasa daerahnya masing-masing. Masyarakat di Indonesia dan dunia akan tahu bahwa kata “Way” di Lampung memiliki kesamaan makna dengan kata “Aik” di Bangka Belitung dan inilah identitas daerah masing-masing.

Salah satu ahli bahasa, Louise Baird dalam sebuah makalah kecil berjudul "Pentingnya Bahasa Daerah", menyatakan bahwa anggapan negatif tentang bahasa daerah antara lain (1) bahasa daerah sudah ketinggalan jaman atau kuno, (2) bahasa daerah mencerminkan seseorang tidak berpendidikan, (3) bahasa daerah tidak memiliki manfaat ekonomis, (4) bahasa daerah menghalangi kemajuan, (5) bahasa daerah tidak bisa membuat orang menjadi pintar, dan masih banyak anggapan lainnya.  

Berdasarkan hal ini, maka salah satu upaya penting lainnya dalam pelestarian bahasa bangka belitung yaitu dengan membuat hilangnya anggapan negatif terhadap pengunaan bahasa daerah. Bahasa daerah atau sering juga disebut dengan Bahasa Ibu merupakan bahasa yang pertama kali dipelajari manusia sejak lahir yang menjadi dasar pemahamannya secara alamiah. Seorang anak yang dilahirkan di Toboali dengan  ibu dan ayahnya berasal dariToboali, maka tentunya bahasa “Urang Habang” inilah yang menjadi bahasa ibunya. Namun apa jadinya kalau ternyata orang tuanya ternyata membiasakan anaknya menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Jakarta yang dianggap sebagai bahasa yang lebih modern dan “tidak kampungan”.  Ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Untuk itu jangan heran kalau ternyata pakar bahasa jawa adalah orang dari Perancis dan Belanda dan bukan orang jawa sendiri. Dan bukan tidak mungkin kalopakar bahasa melayu bangka belitung adalah orang yang bukan dari bangka belitung.

Untuk mengatasi permasalahan ini tentunya pembelajaran bahasa daerah perlu dilakukan sejak manusia dilahirkan dan terus dilakukan pembinaan  bagi anak-anak khususnya melalui jalur pendidikan. Pembelajaran bahasa daerah melalui jalur pendidikan ini setidaknya mampu membuat setiap peserta didik melakukan pembiasaan untuk menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari.

Penggunaan Kurikulum 2013 ternyata memberikan ruang bagi pembelajaran bahasa daerah sebagai salah satu mata ajar di sekolah melalui mata pelajaran muatan lokal. Mahsun mengungkapkan bahwa kurikulum baru tidak menghilangkan bahasa daerah dalam pembelajaran, tetapi justru diapresiasi melalui peran pemda dalam mengembangkannya sesuai kondisi lokal yang dimiliki daerah setempat (Kompas.com: 2/7/2013). Namun sangat disayangkan bahwa saat ini kebanyakan sekolah, terutama jenjang Sekolah Dasar lebih mementingkan Bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal di sekolahnya. Untuk itulah Jaringan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saat ini sedang melakukan penelitian tentang kebermanfaatan muatan lokal dalam menunjang kelestarian kearifan lokal yang ada di Bangka Belitung dan diharapkan nantinya pembelajaran muatan lokal yang dilakukan di sekolah betul-betul dapat menunjang kelestarian kearifan lokal tersebut.

Untuk menjadikan bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal didaerah tentu bukanlah hal yang mudah. Hingga saat ini belum ada standarisasi bahasa melayu bangka dan belitung. Standarisasi ini sangat penting mengingat banyaknya dialek dalam bahasa melayu di bangka belitung. Bahkan untuk wilayah Kota Pangkalpinang sendiri terdapat beberapa dialek bahasa melayu walaupun banyak sekali terdapat kemiripan. Standarisasi ini tentunya harus mempertimbangkan kesamaan-kesamaan dari masing-masing dialek dan bukan untuk menghilangkan dialek yang sudah ada.

Selain itu, hingga saat ini belum ada regulasi dari Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang mengatur tentang bahasa daerah seperti yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Tengah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang diikuti oleh Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 yang mewajibkan pelajaran bahasa jawa di setiap sekolah. Ini tentu saja menjadi PR bagi Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama dengan Pemerintah Kabupaten dan Kota di lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai upaya untuk pelestarian bahasa daerah di Bangka Belitung.

Every time we lose a language, we lose one vision of the world”. Demikian diungkapkan oleh David Crystal, salah satu ahli bahasa di Inggris. Setiap bahasa memiliki keunikan sendiri. Tidak ada satu bahasa pun yang lebih baik dari bahasa lainnya. Ciri-ciri keunikan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan berbagai aspek kehidupan manusia tercermin dalam bahasa. Karena itu, hilang atau punahnya satu bahasa mengakibatkan hilangnya berbagai konsep mengenai keunikan aspek kehidupan masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Gerubok kate urang melayu Belitong
Lemari kayu di dapur artinya dalam bahasa Indonesia.
Mari kita lestarikan bahasa melayu Bangka Belitong.
Sebagai salah satu kekayaan bangsa Indonesia.

Buah durian biji selasih.
Demikian dan terima kasih.

Pangkalpinang, 23 September 2014.


DAFTAR PUSTAKA

Harian PosBelitung, Edisi 11 Januari 2014, RumpunBahasa Belitung Diambang Kepunahan;

Harian Kompas.com, Edisi 2 Juli2013, Pelestarian Bahasa Daerah Tergantung Pemda;

Muslim;  Rengga, 2013, Pemertahanan Bahasa Daerah sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Kearifan Lokal di Indonesia;

Pattimana;  Max Marcus Jozef, 2013, Upaya Penyelamatan Bahasa-Bahasa Daerah Terancam Punah, (Suatu Pendekatan Etnoekologi Mengandalkan Kekuatan Bahasa dalam Rasa, Karya dan Karsa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar