PELESTARIAN BAHASA MELAYU BANGKA BELITUNG MELALUI PENDIDIKAN SEBAGAI WUJUD PELESTARIAN IDENTITAS MASYARAKAT MELAYU BANGKA BELITONG
Oleh :
INDRAWADI, S.Si, MAP
Kepala Seksi Penyusunan Rencana dan Program
Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kebahasaan, Pangkalpinang, 25 September 2014
Memancing ikan Tenggiri di pinggiran.
Dapatnya ikan kerisi diletakkan dekat kayu dalam tong.
Perkenankan kami untuk mengungkapkan segala olah rasa dan pikiran
Untuk pelestarian bahasa negeri, bahasa melayu Bangka Belitong.
Demikian
sebuah pantun pembuka yang disampaikan sebagai kebiasaan danciri khas
orang melayu, termasuk orang melayu di Bangka Belitung atau
sebagian menamakan diri orang melayu pesisir. Pantun ini disampaikan
dalam BahasaIndonesia agar mudah dimengerti oleh seluruh orang.
Secara
umum bahasa daerah di Bangka Belitung merupakan bahasa melayu dengan
berbagai macam dialek. Ada dialek Pangkalpinang, dialek masyarakat
DesaTua Tunu, dialek masyarakat Sijuk, dialek masyarakat Belinyu, dan
lain-lain. Masyarakat Bangka Belitung memang terdiri dari berbagai suku
dan etnis dengan mayoritas merupakan suku melayu atau keturunan suku
melayu. Di masyarakat Bangka Belitung sendiri telah terjadi pencampuran
suku dan etnis yang justru menimbulkan pembauran bahasa yang menambah
kaya bahasa daerah itu sendiri. Sebagai contoh, masyarakat dari etnis
Tionghoa sering mengucapkan bahasa bangkadan dialek Tionghoa yang
berbeda seperti kebanyakan bahasa bangka yang lain.
Penyampaian
pantun pembuka seperti tadi sudah jarang sekali kita dengar. Dimasa
orang tua kita dahulu, pantun seperti ini sudah menjadi kebiasaan. Pada
setiap acara resmi pemerintahan, upacara-upacara adat, padasetiap acara
hajatan dan lain-lain. Ini merupakan indikasi mulai lunturnya penggunaan
bahasa dan budaya daerah di lapisan masyarakat, bahkan juga dijajaran
pemerintahan. Padahal, banyak yang mengatakan bahwa Bahasa Daerah
itumerupakan identitas suatu kelompok masyarakat di suatu daerah. Dengan
menghilangnya bahasa daerah ini, maka otomatis daerah atau kelompok
masyarakat tersebut sudah kehilangan salah satu identitasnya.
Sebagai
contoh, di Pulau Belitung terdapat bahasa Juru (digunakan
oleh masyarakat Juru Seberang, Kecamatan Tanjung Pandan) yang hingga saat
ini kurangdari 10 (sepuluh) orang penutur saja yang kebetulan penutur
ini sudah berusia lanjut semua (Harian Pos Belitung : 2013). Sudah sangat
jarang sekali masyarakat juru terutama kaum mudanya yang menggunakan
bahasa juru sebagai bahasa keseharian mereka karena takut dianggap
kampungan atau malu dianggap sebagai komunitas tertinggal dan
terbelakang. Bahkan untuk bahasa tulisan, hampir-hampir tidak ada lagi
masyarakat di Bangka Belitung yang mampu untuk membuat tulisan
arab-melayu sebagai bahasa tulisan melayu Bangka Belitung.
Pernahkah Anda mendengarkan bahasa seperti ini : “Selamat
detang di Negrik LaskarPelangek. Akuk mengewakilnyak derik Sukuk Sawang
ngucapnyak terima kasih keiko, semuak usak ade masala akuk ngucapla
selamat semuak nyaman iko bejelan”.(Selamat datang di Negeri
Laskar Pelangi. Saya mewakili Suku Sawang mengucapkan terima kasih,
semoga perjalanan anda selamat dan menyenangkan). Ini adalah bahasa suku
Sawang di Belitong yang saat ini sudah sangat jarang sekali terdengar
yang dituturkan oleh salah satu penuturnya (dikutip dari dari harian Pos
Belitung tanggal 11 Januari 2014).
Mengapa bahasa daerah ini sampai punah dan bagaimana upaya pelestariannya?
Untuk
dapat menentukan upaya pelestarian bahasa melayu Bangka
Belitungtentunya harus dipahami dulu apa saja yang menjadi penyebab
lunturnya penggunaan bahasa daerah. Salah satu penyebab tersebut yaitu
adanya Arus budaya utama (mainstream) telah menggiring
orang-orang Indonesia untuk turut bagian dalam budaya global (Rengga
Muslim : 2013). Standar peradaban diukur dari cara global dalam melihat
berbagai hal, termasuk dari sudut pandang berbahasa. Banyak sekali kaum
muda Bangka Belitung yang merantau ke daerah lain seperti Jakarta dan
begitu pulang ke kampung halaman di Bangka Belitung sudah
menggunakan bahasa Betawi yang dianggap bahasa yang keren dan modern.
Begitu pula dengan kencangnya arus informasi global melalui media
televisi dan radio serta pendatang dari luar daerah yang akhirnya banyak
ditiru dan diucapkan oleh anak-anak dan kaum muda bahkan kalangan tua
dalam pergaulan sehari-sehari sehingga menyebabkan jarangnya penggunaan
kosa kata daerah dan akhirnya menghilang dari peredaran.
Sebagai contoh kasus ini yaitu untuk kosa kata “kelik”. Kelik dalam bahasa melayu bangka dan belitung secara umum yaitu merupakan nama ikan yang dalam bahasa Indonesia disebut “lele”. Dengan masuknya pedagang (umumnya dari Jawa) yang menjajakan jenis masakan yang sering disebut “Pecel Lele” maka kosa kata “kelik”sudah
mulai jarang dipakai oleh masyarakat Bangka Belitung. Belum pernah
ada masyarakat melayu Bangka Belitung yang menyebutkan “Pecel Kelik”. Mereka selalu menyebutkan “Pecel Lele” dan akhirnya lama-lama bukan tidak mungkin masyarakat Bangka Belitung tidak lagi mengenal kosa kata “Ikan Kelik”. Bahkan bukan tidak mungkin nantinya akan hilang salah satu pepatah dalam bahasa Bangka “Ikan Kelik dibawah Batu”dan berubah menjadi “Ikan Lele dibawah batu”.
Hal
lain yang menyebabkan punahnya kosa kata dalam bahasa daerah yang
menjadi cikal bakal punahnya bahasa daerah yaitu Peng-Indonesia-an nama
daerah. Sebagai contoh yaitu nama “Belitong” tetapi kemudian di buatkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Belitung”
sehingga sering ditanyakan yang benar itu apakah “Belitong” atau
“Belitung”. Demikian pula halnya dengan kata “Air” yang dalam bahasa
Bangka Belitung disebut ”Aik”. Nama desa/kampung seperti “Aik Itam”, Aik Selan”, “Aik Sagak”, “AikMadu” saat ini telah di Indonesiakan sehingga menjadi “Air Itam”, Air Selan”, “Air Saga”, “AirMadu”. Pada penggunaannya nanti akan menyebabkan hilangnya kata “Aik” dalam
bahasa Bangka Belitung. Untung saja untuk daerah Jawa Barat dan
Banten hal ini tidak dilakukan dan tidak pernah orang menyebutkan “KaliLiwung” untuk “Ciliwung” atau “Kali Sadane” untuk “Cisadane” atau kalau di daerah Lampung disebutkan “Air Kambas” untuk “Way Kambas” serta menyebutkan “Kota Sala” untuk “Kota Solo”.
Masih
banyak lagi penyebab mulai punahnya suatu bahasa daerah seperti
masyarakat yang enggan disebutkan sebagai anggota suku terasing (kasus
bahasa juru seberang dan bahasasuku sawang) dan lainnya sebagainya.
Dari
beberapa penyebab diatas, sebetulnya telah dilakukan beberapa upaya oleh
Pemerintah Daerah untuk pelestarian bahasa daerah ini, khususnya di
Bangka Belitung. Perlu diberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Kota
Pangkalpinang yang telah mengupayakan penulisan nama jalan di Kota
Pangkalpinang dengan menggunakan 2 (dua) jenis tulisan, yaitu dalam
aksara latin dan aksara arab gundul. Hal ini sangat penting dilakukan dan
paling tidak berdampak pada keingintahuan masyarakat untuk kembali
membaca tulisan melayu dalam aksara arab gundul.
Demikian
pulaupaya-upaya yang dilakukan oleh media cetak dan radio yang pada
hari-hari tertentu telah menyediakan ruang untuk penggunaan cerita atau
pantun dalam bahasa daerah. Paling tidak, upaya ini diharapkan akan mampu
menimbulkan rasa cinta, senang dan bahagia bagi masyarakat untuk
menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, khususnya dalam pergaulan
antar sesama daerahnya.
Pelestarian bahasa daerah
di Bangka Belitung ini juga telah dilakukan oleh
perkumpulan-perkumpulan masyarakat maupun perseorangan seperti yang
dilakukan oleh Komunitas Telinsong Budaya melalui salah satu tokoh
pendirinya yang bahkan telah menerbitkan buku cerita dalam Bahasa
Belitong dengan judul “Ngenjungak Republik Kelekak”.
Buku ini yang ditulis oleh Fithrorozi ini diluncurkan pada tanggal 12
Pebruari 2011 yang hingga kini telah beredar hingga ke Malaysia (Tribun
News : Mei 2011). Dengan adanya buku cerita rakyat dalam bahasa daerah
ini tentunya akan mampu mengingatkan kembali pada masyarakat di
Belitong khususnya akan beberapa kosa kata yang sudah jarang sekali
digunakan karena tergeser oleh bahasa lain.
Hal
yang tak kalah pentingnya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
yaitu dengan menuliskan kembali nama-nama daerah sesuai dengan dialek
asli masyarakatnya. Hal ini tentu saja akan membuat bangga masyarakat
daerah tersebut akan bahasa daerahnya dan inilah makna yang sebenarnya
dari Bahasa Daerah menunjukkan Identitas Daerah tersebut. Upaya ini
sekaligus akan mampu memperkenalkan budaya daerah melalui bahasa
daerahnya masing-masing. Masyarakat di Indonesia dan dunia akan
tahu bahwa kata “Way” di Lampung memiliki kesamaan makna dengan kata “Aik” di Bangka Belitung dan inilah identitas daerah masing-masing.
Salah
satu ahli bahasa, Louise Baird dalam sebuah makalah kecil berjudul
"Pentingnya Bahasa Daerah", menyatakan bahwa anggapan negatif tentang
bahasa daerah antara lain (1) bahasa daerah sudah ketinggalan jaman atau
kuno, (2) bahasa daerah mencerminkan seseorang tidak berpendidikan, (3)
bahasa daerah tidak memiliki manfaat ekonomis, (4) bahasa
daerah menghalangi kemajuan, (5) bahasa daerah tidak bisa membuat orang
menjadi pintar, dan masih banyak anggapan lainnya.
Berdasarkan hal
ini, maka salah satu upaya penting lainnya dalam pelestarian bahasa
bangka belitung yaitu dengan membuat hilangnya anggapan negatif terhadap
pengunaan bahasa daerah. Bahasa daerah atau sering juga disebut dengan
Bahasa Ibu merupakan bahasa yang pertama kali dipelajari manusia sejak
lahir yang menjadi dasar pemahamannya secara alamiah. Seorang anak yang
dilahirkan di Toboali dengan ibu dan ayahnya berasal dariToboali, maka
tentunya bahasa “Urang Habang” inilah yang menjadi bahasa
ibunya. Namun apa jadinya kalau ternyata orang tuanya
ternyata membiasakan anaknya menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa
Jakarta yang dianggap sebagai bahasa yang lebih modern dan “tidak kampungan”.
Ini adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Untuk itu
jangan heran kalau ternyata pakar bahasa jawa adalah orang dari Perancis
dan Belanda dan bukan orang jawa sendiri. Dan bukan tidak mungkin
kalopakar bahasa melayu bangka belitung adalah orang yang bukan dari
bangka belitung.
Untuk mengatasi permasalahan ini
tentunya pembelajaran bahasa daerah perlu dilakukan sejak manusia
dilahirkan dan terus dilakukan pembinaan bagi anak-anak khususnya
melalui jalur pendidikan. Pembelajaran bahasa daerah melalui jalur
pendidikan ini setidaknya mampu membuat setiap peserta didik melakukan
pembiasaan untuk menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari.
Penggunaan Kurikulum
2013 ternyata memberikan ruang bagi pembelajaran bahasa daerah sebagai
salah satu mata ajar di sekolah melalui mata pelajaran muatan lokal.
Mahsun mengungkapkan bahwa kurikulum baru tidak menghilangkan bahasa
daerah dalam pembelajaran, tetapi justru diapresiasi melalui peran pemda
dalam mengembangkannya sesuai kondisi lokal yang dimiliki daerah setempat
(Kompas.com: 2/7/2013). Namun sangat disayangkan bahwa saat ini
kebanyakan sekolah, terutama jenjang Sekolah Dasar lebih mementingkan
Bahasa Inggris sebagai pelajaran muatan lokal di sekolahnya. Untuk itulah
Jaringan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung saat ini sedang melakukan penelitian tentang
kebermanfaatan muatan lokal dalam menunjang kelestarian kearifan lokal
yang ada di Bangka Belitung dan diharapkan nantinya pembelajaran
muatan lokal yang dilakukan di sekolah betul-betul dapat menunjang
kelestarian kearifan lokal tersebut.
Untuk menjadikan
bahasa daerah sebagai salah satu muatan lokal didaerah tentu bukanlah
hal yang mudah. Hingga saat ini belum ada standarisasi bahasa melayu
bangka dan belitung. Standarisasi ini sangat penting mengingat banyaknya
dialek dalam bahasa melayu di bangka belitung. Bahkan untuk wilayah Kota
Pangkalpinang sendiri terdapat beberapa dialek bahasa melayu
walaupun banyak sekali terdapat kemiripan. Standarisasi ini tentunya
harus mempertimbangkan kesamaan-kesamaan dari masing-masing dialek dan
bukan untuk menghilangkan dialek yang sudah ada.
Selain
itu, hingga saat ini belum ada regulasi dari Pemerintah Daerah Provinsi
maupun Kabupaten dan Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
yang mengatur tentang bahasa daerah seperti yang dilakukan oleh Provinsi
Jawa Tengah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun
2012 tentang Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa yang diikuti oleh Peraturan
Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 yang mewajibkan pelajaran bahasa
jawa di setiap sekolah. Ini tentu saja menjadi PR bagi Pemerintah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama dengan Pemerintah Kabupaten
dan Kota di lingkungan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai upaya
untuk pelestarian bahasa daerah di Bangka Belitung.
“Every time we lose a language, we lose one vision of the world”. Demikian
diungkapkan oleh David Crystal, salah satu ahli bahasa di Inggris.
Setiap bahasa memiliki keunikan sendiri. Tidak ada satu bahasa pun yang
lebih baik dari bahasa lainnya. Ciri-ciri keunikan sosial, budaya,
ekonomi, politik, dan berbagai aspek kehidupan manusia tercermin dalam
bahasa. Karena itu, hilang atau punahnya satu bahasa mengakibatkan
hilangnya berbagai konsep mengenai keunikan aspek kehidupan masyarakat
pengguna bahasa tersebut.
Gerubok kate urang melayu Belitong
Lemari kayu di dapur artinya dalam bahasa Indonesia.
Mari kita lestarikan bahasa melayu Bangka Belitong.
Sebagai salah satu kekayaan bangsa Indonesia.
Buah durian biji selasih.
Demikian dan terima kasih.
Pangkalpinang, 23 September 2014.
DAFTAR PUSTAKA
Harian PosBelitung, Edisi 11 Januari 2014, RumpunBahasa Belitung Diambang Kepunahan;
Harian Kompas.com, Edisi 2 Juli2013, Pelestarian Bahasa Daerah Tergantung Pemda;
Muslim; Rengga, 2013, Pemertahanan Bahasa Daerah sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Kearifan Lokal di Indonesia;
Pattimana;
Max Marcus Jozef, 2013, Upaya Penyelamatan Bahasa-Bahasa Daerah
Terancam Punah, (Suatu Pendekatan Etnoekologi Mengandalkan Kekuatan
Bahasa dalam Rasa, Karya dan Karsa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar